Sawitsetara.co – JAKARTA – Upaya pemerintah menertibkan lahan perkebunan kelapa sawit yang masuk kawasan hutan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 tahun 2025 pengubah PP No.24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan PNBP justru berbuah polemik. Regulasi ini dinilai kian memperkeruh permasalahan penetapan kawasan hutan yang telah berlangsung sejak dua dekade.
Guru Besar di Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc., mengupas tuntas isu krusial mengenai kawasan hutan ini dalam podcast bersama Pemimpin Redaksi Majalah Sawit Indonesia Qayuum Amri yang tayang di YouTube, Rabu (8/10/2025). Tidak hanya mengidentifikasi akar masalah yang kompleks, Prof. Sudarsono juga menawarkan solusi yang mendesak untuk mengatasi permasalahan ini.
Sejarah Panjang dan Akar Permasalahan yang Mendalam
Prof. Sudarsono memulai penjelasannya dengan menelusuri sejarah panjang permasalahan kawasan hutan, dimulai sejak 1967 dengan terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Menurutnya, kata “pokok-pokok” dalam undang-undang inilah yang menjadi sumber masalah utama.
“Regulasi inilah yang menjadi akar dari permasalahan yang membuncah hingga hari ini. UU ini tumpang tindih dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, yang kemudian memicu konflik kepentingan terkait kepemilikan dan pengelolaan lahan,” kata dia.
Salah satunya, menurut Prof. Sudarsono, definisi “hutan tetap” dalam undang-undang pokok kehutanan tersebut pada awalnya tidak jelas, yang menyebabkan interpretasi yang berbeda dan membuka peluang terjadinya sengketa. Selain itu, permasalahan juga bersumber dari proses pembentukan kawasan hutan, di mana melibatkan empat tahap utama, yakni penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan.
“Namun, tahap penataan batas seringkali menjadi hambatan utama karena bersinggungan dengan hak-hak masyarakat dan pihak lain yang memiliki klaim atas lahan tersebut. Akibatnya, banyak kasus di mana penataan batas tidak pernah terselesaikan,” kata Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB ini.
Untuk mengatasi kebuntuan dalam pembentukan kawasan hutan, pemerintah mengambil beberapa langkah yang justru memperburuk masalah. Sebagai solusi sementara misalnya, dibentuklah Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (PGHK) di tingkat provinsi. Namun, PGHK ini tidak memiliki landasan hukum yang kuat, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
“PGHK ini justru menjadi dasar bagi klaim sepihak atas kawasan hutan,” tambahnya.
Selain pembentukan PGHK, pemerintah juga membuat perubahan definisi yang kontroversial dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 di mana mengubah definisi kawasan hutan menjadi wilayah yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah. Namun, dalam praktiknya, kewenangan ini seringkali dipegang oleh Menteri Kehutanan, bukan pemerintah secara keseluruhan, yang seharusnya melibatkan berbagai kementerian dan sektor terkait.
Prof. Sudarsono juga menyoroti sejumlah pelanggaran prosedur yang memperparah masalah kawasan hutan. Seperti pengabaian hak-hak masyarakat, di mana proses pembentukan kawasan hutan seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan pemilik lahan lainnya. Hal ini, kata dia, menyebabkan konflik sosial yang berkepanjangan.
Tak hanya itu, pemerintah bahkan menerbitkan PP Nomor 23 Tahun 2021, yang kembali menegaskan bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan oleh menteri, bukannya oleh pemerintah, yang mengindikasikan adanya ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Prof. Sudarsono memberikan beberapa contoh nyata dari dampak negatif permasalahan kawasan hutan:
1. Sertifikat dan HGU yang Tidak Diakui
Banyak kasus di mana lahan transmigrasi yang sudah memiliki sertifikat hak milik atau HGU tiba-tiba masuk ke dalam kawasan hutan. Hal ini jelas melanggar hak-hak hukum yang telah diberikan oleh negara.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi
Kasus-kasus tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa jika hak-hak legal tidak diakui, maka kekuasaan atas hutan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
3. Potensi Campur Tangan Asing
Prof. Sudarsono juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi campur tangan asing melalui LSM dan NGO yang menjadikan kawasan hutan sebagai komoditas untuk kepentingan tertentu.
Prof. Sudarsono menawarkan solusi komprehensif untuk mengatasi permasalahan kawasan hutan. Mulai dari keterlibatan lintas kementerian di mana lemerintah harus melibatkan semua lintas kementerian dan sektor terkait dalam pengambilan keputusan terkait kawasan hutan. Termasuk Kementerian Pertanian, Kementerian Transmigrasi, dan kementerian lainnya yang relevan.
Kemudian penegakan hukum yang tegas, emerintah harus menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menghormati hak-hak masyarakat. Selain itu, tata batas hutan juga harus diselesaikan dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dan pemilik lahan. Hingga, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kawasan hutan untuk mencegah praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
“Permasalahan kawasan hutan adalah masalah kompleks yang membutuhkan penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan. Dibutuhkan komitmen kuat dari pemerintah untuk melibatkan semua pihak terkait, menegakkan hukum, dan memastikan keadilan bagi masyarakat,” katanya.
Tags:
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *