sawitsetara.co – JAKARTA – Pemerintah optimis menargetkan produksi sawit nasional mencapai 92 juta ton pada 2045 mendatang. Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera, mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 16,38 juta hektare lahan sawit.
“Dari total itu, 53% dikelola swasta, 6% oleh BUMN, dan sisanya 41% oleh petani swadaya. Saat ini rata-rata produksi masih di bawah empat ton per hektare, sementara perusahaan besar bisa mencapai 10 hingga 12 ton per hektare,” katanya dalam diskusi publik di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), pemerintah berupaya meningkatkan produktivitas kebun rakyat dua hingga tiga kali lipat dalam empat tahun ke depan. Untuk memastikan keberlanjutan, pemerintah memperkuat implementasi sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang kini mencakup seluruh rantai industri.

“ISPO bersifat wajib. Untuk pekebun kecil, sertifikasi diberi masa transisi empat tahun, dengan seluruh biaya ditanggung pemerintah,” kata dia.
Dida menambahkan, sawit memiliki keunggulan besar dibanding minyak nabati lain seperti bunga matahari dan rapeseed karena produktivitasnya bisa empat kali lipat lebih tinggi. Keunggulan ini menjadikan sawit sebagai komoditas minyak nabati paling efisien dan berkelanjutan di dunia.
Selain itu, pengembangan energi hijau berbasis sawit, seperti biofuel, biogas, dan bioavtur, membuka peluang ekonomi baru. Dida menuturkan, peluang ini akan menjadi game changer dalam tata kelola sawit nasional. Saat ini, terdapat sekitar 200 produk turunan sawit yang telah dikomersialisasikan, bahkan 40% kandungan biodiesel nasional berasal dari sawit.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Surjadi, menekankan pentingnya memperkuat dimensi sosial dalam pembangunan industri sawit. Surjadi mendorong pembentukan kelompok tani yang mendapat pendampingan untuk meningkatkan posisi tawar.
“Kesejahteraan petani swadaya harus menjadi fokus. Banyak dari mereka memiliki lahan kecil, 2–3 hektare, dan kesulitan mengakses pupuk maupun pendanaan,” kata dia.
Surjadi juga menyoroti pentingnya memperhatikan buruh perkebunan. Selain petani, buruh perkebunan juga bagian penting dari ekosistem sawit. Mereka berhak atas pekerjaan layak dan status formal. Mengutip riset IPB University, Surjadi menegaskan bahwa konflik antara ekonomi dan lingkungan dapat diminimalkan.
Adapun Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menyebutkan target produksi sawit nasional pada 2045 mencapai 92 juta ton. Eddy menekankan bahwa pembenahan sektor hulu harus menjadi prioritas. Hilirisasi, kata dia, tidak akan berhasil jika hulunya bermasalah.

“Produksi sawit stagnan lima tahun terakhir. Karena itu, peningkatan produktivitas petani dan efisiensi kebun menjadi kunci,” katanya.
Eddy menilai program biodiesel berperan besar dalam menjaga stabilitas harga sawit. Sebelum program biodiesel, harga sawit sempat di bawah biaya produksi. Sekarang harga bisa bertahan dan petani kembali bergairah. Gapki juga terus menjalankan program tanggung jawab sosial (CSR) di berbagai bidang.
Eddy menambahkan, “Kami ingin industri sawit tidak hanya kuat secara ekonomi, tapi juga membawa manfaat sosial dan ramah lingkungan.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *