sawitsetara.co – PONTIANAK – Kalimantan Barat (Kalbar), sebagai salah satu provinsi dengan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia, menghadapi paradoks yang memilukan. Kendati demikian, Koalisi Buruh Sawit Indonesia mengungkapkan, di balik hiruk-pikuk industri sawit yang menyumbang devisa negara, nasib buruh sawit di Kalbar disebut masih memprihatinkan.
Koordinator Koalisi Buruh Sawit Indonesia, Ismet Inoni, mengungkapkan keprihatinannya saat diwawancarai Jurnalborneo.com usai forum multi-stakeholder bertema “Kerja Layak di Perkebunan Kelapa Sawit” di Pontianak pada Jumat (12/9/2025). Ismet menyoroti rendahnya upah buruh sawit di Kalimantan Barat, meskipun wilayah ini merupakan penghasil sawit terbesar kedua di Indonesia.
“Upah minimum sektoral atau kabupaten di sini hanya sekitar Rp2,8 juta per bulan. Paling tinggi hanya di kisaran Rp3,3 juta sampai Rp3,6 juta,” ujarnya, membandingkan kondisi ini dengan provinsi lain di Kalimantan.
Masih dilansir dari Jurnalborneo.com, Selain upah, status kerja yang rentan, terutama bagi buruh harian lepas (BHL), menjadi masalah krusial. Buruh perempuan, menurut Ismet, adalah kelompok yang paling terpapar risiko agrokimia. Pihaknya juga menyoroti dampak kesehatan serius yang ditimbulkan.
“Buruh perempuan juga paling banyak terpapar risiko agrokimia atau racun, karena mereka yang bekerja langsung di bagian kebun yang menggunakan bahan kimia,” tambahnya.
Pemerintah daerah, parlemen, dan serikat buruh diharapkan memainkan peran aktif dalam memperjuangkan kondisi kerja yang lebih layak. Ismet mendorong lahirnya peraturan daerah (Perda) tentang perlindungan buruh perkebunan sawit. Menurutnya, Komisi V menyambut baik usulan perda perlindungan buruh sawit.
“Ini harus ditindaklanjuti bersama agar segera ada kepastian hukum yang melindungi buruh sawit di Kalbar,” kata dia.
Selain regulasi, Ismet juga menekankan pentingnya dialog antara perusahaan sawit dan serikat buruh, termasuk memasukkan isu keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam perjanjian kerja bersama. Hasil riset tentang dampak agrokimia di kebun sawit seharusnya menjadi perhatian perusahaan.
Sementara itu, Ketua LinkAr Borneo, Ahmad Syukri, menambahkan bahwa perlindungan terhadap buruh sawit masih terabaikan, meskipun kontribusi sawit terhadap ekonomi daerah dan nasional sangat signifikan. Kata dia, beberapa persoalan seperti kesejahteraan, keselamatan kerja, hingga perlindungan terhadap anak-anak dan keluarga buruh kebun sawit masih belum maksimal..
Syukri mengajak seluruh elemen untuk bersama-sama mengawal kebijakan ini, dengan harapan perda dapat menjadi payung hukum yang kuat. Pihaknya berharap perda ini bisa menjadi payung hukum yang kuat untuk melindungi buruh sawit di Kalbar. “Selain itu, ini juga bisa menjadi tonggak penting untuk mendorong lahirnya Undang-Undang Perlindungan Buruh Sawit di level nasional,” katanya.
Hadirnya perda diharapkan dapat menjamin hak-hak buruh sawit, termasuk upah layak, status kerja, K3, dan perlindungan keluarga..Dengan luas perkebunan sawit mencapai 3,2 juta hektare, Kalbar menjadi lumbung sawit nasional. Namun, mayoritas pekerja sawit masih berstatus tidak tetap, dengan buruh perempuan sebagai kelompok paling rentan.
Forum multi-stakeholder di Pontianak ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan internasional buruh sawit sebelumnya, dengan harapan dapat menciptakan kondisi kerja yang layak dan aman. Para peserta forum sepakat bahwa tanpa regulasi yang kuat, buruh sawit akan terus menjadi korban. Perda khusus buruh sawit di Kalbar dianggap sebagai langkah awal penting menuju perlindungan di tingkat nasional melalui RUU Perlindungan Buruh Sawit.