sawitsetara.co – JAKARTA – Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia, dengan lebih dari 16 juta hektare lahan ditanami sawit dan menghasilkan devisa ekspor sekitar USD30 miliar/tahun. Industri sawit telah menjadi tulang punggung ekonomi pedesaan, dimana lebih dari 16 juta orang menggantungkan hidup secara langsung maupun tidak langsung dari sektor ini, mulai dari petani kecil, pekerja perkebunan, hingga buruh pabrik dan sektor hilir.
“Namun, di balik kontribusi ekonominya, industri sawit tak pernah sepi dari tekanan global. Narasi yang menuding sawit sebagai penyebab utama emisi sering dijadikan alasan untuk kebijakan diskriminatif terhadap produk Indonesia,” kata Kuntoro Boga Andri adalah Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian kepada sawitsetara.co.
Kuntoro mencontohkan misallnya Uni Eropa yang memberlakukan EU Deforestation Regulation (EUDR) yang melarang impor komoditas terkait deforestasi, serta Renewable Energy Directive (RED II) yang membatasi penggunaan sawit dalam biofuel dengan alasan risiko Indirect Land Use Change (ILUC).
Langkah-langkah ini dipandang Indonesia dan Malaysia sebagai bentuk proteksionisme terselubung. Tak heran, kedua negara ini, yang memasok sekitar 85 persen produksi sawit dunia, sempat mengajukan gugatan ke WTO untuk menentang regulasi yang dianggap diskriminatif.
Di tingkat domestik, Indonesia telah menempuh berbagai langkah untuk memperkuat keberlanjutan sawit. Pemerintah menerapkan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang wajib bagi perusahaan, memberlakukan moratorium izin baru sejak 2018, serta menggencarkan rehabilitasi lahan kritis dan restorasi gambut.
Data inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional juga menegaskan bahwa sektor energi jauh lebih dominan menyumbang emisi dibanding sektor LULUCF. Sejak 2016, laju deforestasi Indonesia berhasil turun lebih dari 50 persen berkat kebijakan moratorium dan pengelolaan hutan yang lebih ketat.
“Karena itu, target Net Zero Emission 2060 menempatkan dekarbonisasi energi, alih-alih sawit sebagai kunci utama. Dengan kata lain, tantangan emisi Indonesia lebih banyak terkait mengurangi ketergantungan pada batu bara dan BBM, sementara sawit justru berpotensi menjadi bagian dari solusi, terutama melalui pemanfaatannya sebagai biofuel,” jelas Kuntoro.
Dibawah Bayang-Bayang Narasi Global
Indonesia tidak sendirian menghadapi stereotip negatif terhadap sawit. Malaysia, produsen terbesar kedua dunia, juga mengalami tekanan serupa. Negeri jiran ini bahkan telah mengembangkan standar Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) yang sejalan dengan ISPO sebagai bukti komitmen keberlanjutan.
Namun, kampanye hitam terhadap sawit Malaysia, dari isu lingkungan hingga tenaga kerja, tetap marak di media Barat. Thailand pun, meski volumenya lebih kecil, menjadikan sawit komoditas strategis untuk energi domestik melalui program biodiesel B20. Sementara itu, Filipina dan Myanmar melihat sawit sebagai peluang pembangunan pedesaan, sambil belajar dari pengalaman Indonesia-Malaysia.
Secara kolektif, ASEAN menyumbang lebih dari 85 persen produksi sawit dunia. Dominasi ini ironisnya justru membuat kawasan menjadi sasaran kebijakan protektif dari negara konsumen di Eropa dan Amerika.
Minyak nabati pesaing, seperti kedelai di Amerika, rapeseed di Eropa, dan bunga matahari di Ukraina, diuntungkan jika citra sawit memburuk. Di balik jargon “penyelamatan lingkungan”, terdapat indikasi perang dagang terselubung untuk merebut pangsa pasar minyak nabati global.
Menghadapi tekanan tersebut, negara-negara ASEAN mulai merapatkan barisan. Indonesia dan Malaysia membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) sebagai wadah diplomasi, melobi agar standardisasi yang fair dijadikan acuan global.
“Keduanya juga pernah menggugat Uni Eropa ke WTO atas diskriminasi sawit dalam kebijakan biofuel. Diplomasi regional ini penting untuk mengoreksi narasi global yang timpang sekaligus memperkuat komitmen keberlanjutan,” jelas Kuntoro.
Jalan ke depan adalah mengoreksi persepsi dunia dengan tiga strategi utama, yaitu diplomasi berbasis data, inovasi sawit rendah emisi melalui riset varietas unggul, praktik agroforestri, hingga pemanfaatan limbah menjadi energi, serta branding positif sawit berkelanjutan.
“Dengan langkah konsisten ini, sawit dapat dipandang bukan sebagai masalah, melainkan bagian dari solusi energi terbarukan dan pembangunan inklusif,” pungkas Kuntoro.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *