
sawitsetara.co - JAKARTA - Sebuah Kampus Rakyat tidak selalu lahir dari kebijakan negara, dana besar, atau gedung megah. Kadang ia bermula dari ruang kecil—sangat kecil—berukuran 4×4 meter. Dari ruang sederhana itulah, pada Maret 1993 di Tapang Sambas, pedalaman Kalimantan Barat, Credit Union Keling Kumang (CUKK) memulai sebuah perjalanan panjang: membangun pendidikan sebagai fondasi perubahan sosial, ekonomi, dan martabat manusia.
Tiga puluh dua tahun kemudian, ruang kecil itu telah menjelma menjadi sebuah Kampus Rakyat—bukan sekadar institusi pendidikan formal, melainkan ekosistem pembelajaran koperasi yang hidup. Ia melahirkan sekolah menengah, institut teknologi, pelatihan vokasi, kader pemimpin, unit usaha produktif, dan generasi muda yang percaya bahwa masa depan bisa dibangun di kampung halaman.
Tulisan ini bukan kisah sukses romantik. Ia adalah refleksi pembelajaran 32 tahun tentang bagaimana pendidikan koperasi bekerja dalam praktik, dan mengapa pengalaman ini relevan sebagai model rujukan nasional, terutama bagi agenda besar membangun 80.000 Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).

BAGIAN I: Ketika Pendidikan Didahulukan dari Modal
Ketika CUKK berdiri pada awal 1990-an, realitas pedalaman Kalimantan keras dan tanpa ilusi. Harga karet jatuh hingga sekitar Rp1.000/kg, akses pendidikan nyaris tertutup, lembaga keuangan tidak hadir, infrastruktur minim, dan tanah adat terancam ekspansi korporasi. Desa dilabeli miskin, bodoh, tertinggal, dan tidak berpendidikan.
Dalam situasi seperti itu, CUKK mengambil keputusan yang tidak lazim: tidak memulai dari kredit, tetapi dari pendidikan dan penyadaran. Mereka memahami bahwa kemiskinan bukan hanya kekurangan uang, tetapi kekurangan pengetahuan, kepercayaan diri, dan kesadaran kolektif. Pendidikan menjadi alat untuk mengubah cara berpikir sebelum mengubah cara berusaha.
Di ruang-ruang pertemuan koperasi, anggota belajar mengelola keuangan keluarga, memahami usaha bersama, dan membangun kebiasaan baru. Nilai credere—saling percaya—dihidupkan dalam praktik sehari-hari. Pendidikan di sini bukan mata pelajaran, tetapi proses pembentukan karakter dan kesadaran sosial.
Inilah embrio Kampus Rakyat: pendidikan yang tumbuh dari komunitas, hidup bersama komunitas, dan diabdikan sepenuhnya untuk komunitas.
BAGIAN II: Dari Simpanan Kecil ke Ekosistem Pendidikan
Simpanan awal Rp291.000 dari 12 orang itu kini telah berkembang menjadi aset triliunan rupiah dengan ratusan ribu anggota. Namun capaian terbesar CUKK bukanlah angka. Yang jauh lebih penting adalah transformasi koperasi dari lembaga keuangan menjadi ekosistem pendidikan dan pemberdayaan.
Kebutuhan anggota tidak berhenti pada pinjaman usaha. Mereka membutuhkan pendidikan anak, keterampilan mengolah hasil bumi, akses pengetahuan, dan regenerasi kepemimpinan. Menjawab kebutuhan itu, CUKK melakukan perluasan layanan (spin-out) secara bertahap dan organik.
Lahirlah SMA dan SMK Keling Kumang di Sekadau—mercusuar pendidikan menengah di pedalaman. Menyusul berbagai pelatihan vokasi dan kewirausahaan. Hingga akhirnya, pada 2020, berdirilah Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK).
ITKK bukanlah tujuan akhir, melainkan puncak dari piramida Kampus Rakyat—buah dari investasi pendidikan kolektif selama puluhan tahun. Program studi seperti Agroteknologi mencerminkan filosofi mendasar: pendidikan tinggi harus berpijak pada potensi lokal, bukan menjauhkan anak desa dari tanahnya.

BAGIAN III: Pendidikan sebagai Investasi Kolektif dan Regenerasi
Dalam ekosistem Kampus Rakyat Keling Kumang, pendidikan tidak pernah diposisikan sebagai konsumsi individu. Ia adalah investasi kolektif. Ketika seorang anak disekolahkan, seluruh komunitas ikut berinvestasi melalui simpanan, SHU, subsidi silang, dan kontrak moral.
Beasiswa dan pinjaman pendidikan bukanlah amal. Ia adalah “saham sosial” yang diharapkan berbuah kembali bagi komunitas. Ada janji tidak tertulis: luluslah, lalu kembalilah membangun kampung.
Dari satu anak petani yang hampir gagal kuliah, lahirlah ratusan “Markus” dan “Maria”: sarjana pertanian, pendidik, pengelola koperasi, dan pemimpin cabang. Pendidikan di CUKK tidak menghasilkan penganggur terdidik, tetapi manusia yang berdaya guna secara sosial.
Lebih dari itu, pendidikan menjadi mesin regenerasi institusi. CUKK membangun sistem kaderisasi berjenjang: identifikasi bakat sejak dini, pembinaan, mentoring lintas generasi, hingga suksesi kepemimpinan yang demokratis. Organisasi tidak menua, karena terus diremajakan oleh generasi terdidik.
BAGIAN IV: Kampus Rakyat dan Martabat Manusia
Dampak Kampus Rakyat Keling Kumang tidak hanya tercermin dalam penurunan angka kemiskinan atau peningkatan akses pendidikan, tetapi dalam pemulihan martabat manusia. Anak-anak desa berani bermimpi tanpa harus meninggalkan kampung. Perempuan tampil sebagai pengelola usaha dan pemimpin. Petani tidak lagi menjual bahan mentah, tetapi produk bernilai tambah dengan identitas lokal.
Pendidikan telah memutus rantai kepasrahan dan menggantinya dengan siklus kemandirian. Demokrasi ekonomi tidak berhenti sebagai wacana konstitusional, tetapi hadir dalam kehidupan sehari-hari.
BAGIAN V: Pembelajaran Global: Mondragon dan Land Grant University
Pengalaman Keling Kumang sejatinya sejalan dengan praktik terbaik dunia.
Di Spanyol, Mondragon Cooperative Corporation membuktikan bahwa koperasi modern tidak mungkin bertahan tanpa universitas sendiri. Mondragon University adalah jantung regenerasi koperasi—tempat pendidikan, riset, dan industri terhubung dalam satu ekosistem nilai koperasi.
Di Amerika Serikat, pada 1862, Presiden Abraham Lincoln melahirkan Morrill Act, yang melahirkan sistem Land Grant University. Negara tidak membangun satu universitas raksasa, melainkan jaringan universitas di seluruh negara bagian dengan mandat jelas: melayani rakyat melalui pendidikan terapan di bidang pertanian, teknik, dan ilmu praktis.
Yang penting dicatat, Land Grant University tidak hanya milik negara. Universitas swasta seperti Cornell University menjadi bagian dari sistem tersebut. Negara memberi grant pada fungsi dan jejaringnya, bukan pada status kepemilikan.
Hasilnya adalah lompatan besar pendidikan dan produktivitas nasional Amerika Serikat.

BAGIAN VI: Cooperative Grant University Networks: Jalan Indonesia
Indonesia hari ini menghadapi tantangan serupa, bahkan lebih besar. Dengan target 80.000 Koperasi Desa Merah Putih, Indonesia membutuhkan sedikitnya 240.000 sarjana koperasi—rata-rata tiga orang per koperasi.
Mengandalkan satu-dua institut koperasi tidak akan pernah cukup. Maka pembelajaran Keling Kumang, Mondragon, dan Lincoln bertemu dalam satu gagasan strategis:
Cooperative Grant University Networks (CGUN)
CGUN bukan membangun universitas baru, melainkan menghubungkan seluruh perguruan tinggi—negeri dan swasta—dari Aceh hingga Papua ke dalam satu jaringan pendidikan koperasi nasional.
Grant yang diberikan pemerintah bukan untuk gedung, tetapi untuk:
▪︎ kurikulum koperasi bersama,
▪︎ pembelajaran lintas kampus,
▪︎ magang nasional di KDMP,
▪︎ riset terapan koperasi desa,
▪︎ dan sertifikasi sarjana koperasi.
Dengan gotong royong antarkampus, 500 perguruan tinggi membuka masing-masing 400–500 kuota, maka dalam waktu singkat Indonesia dapat melahirkan 240.000 sarjana koperasi. ITKK dan Kampus Rakyat Keling Kumang menjadi node penting dalam jaringan ini—berbagi pengalaman praksis, bukan mendominasi.
BAGIAN VII: Pelajaran bagi 80.000 Koperasi Desa Merah Putih
Refleksi 32 tahun CUKK memberi lima pelajaran kunci:
1. Pendidikan adalah fondasi koperasi, bukan pelengkap.
2. Pendidikan adalah investasi kolektif, bukan beban biaya.
3. Pendidikan harus berpijak pada potensi lokal.
4. Pendidikan harus melahirkan regenerasi kepemimpinan.
5. Kampus Rakyat adalah sistem hidup, bukan gedung.
Setiap KDMP tidak perlu meniru bentuknya, tetapi perlu menghidupi semangatnya.
EPILOG
Warisan dari Ruang Kecil
Dari ruang 4×4 meter itu kini tumbuh Kampus Rakyat di pedalaman Kalimantan. Dari 12 orang yang nyaris buta huruf finansial, kini ratusan ribu memahami ekonomi kerakyatan. Dari mimpi yang dulu dianggap mustahil, lahir sebuah peradaban komunitas yang hidup.
Keling Kumang mengajarkan kebenaran sederhana namun mendalam: uang bisa habis, sumber daya alam bisa terkuras, tetapi pengetahuan—ketika dibagi—justru bertambah.
Jika 80.000 Koperasi Desa Merah Putih menyalakan Kampus Rakyat di wilayahnya masing-masing—dan jika Indonesia berani membangun Cooperative Grant University Networks—maka bangsa ini tidak hanya membangun desa yang kuat secara ekonomi, tetapi bangsa pembelajar yang berdaulat atas masa depannya sendiri.
*Penulis adalah Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D., Rektor IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *