sawitsetara.co - JAKARTA – Pakar Agroekonomi, Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D, mengungkapkan Indonesia mengalami krisis detransformasi ekonomi Indonesia tetapi bisa diatasi dengan visi Republik Kooperatif. Namun, ada tembok besar yang menghalangi jalan ini: ilmu pengetahuan yang Indonesia miliki tidak dirancang untuk membangun ekonomi baru.
Ia mencontohkan, di Universitas Indonesia, mahasiswa ekonomi masih diajari model pertumbuhan neoklasik yang mengabaikan ketimpangan. Di Institut Pertanian Bogor, mahasiswa agribisnis belajar manajemen perkebunan monokultur skala besar. Di sekolah bisnis ternama, studi kasus yang diajarkan adalah kesuksesan korporasi kapitalis.
“Sementara itu, Koperasi Kredit Keling Kumang yang asetnya tumbuh 2,4 juta kali lipat dalam 20 tahun tidak masuk kurikulum,” kata dia, dalam keterangan tertulis kepada sawitsetara.co.
Sebagai informasi, Republik Kooperatif merupakan usulan reformasi ekonomi agar masa depan tata kelola ekonomi Indonesia harus bergerak menuju model kolaboratif yang menggabungkan kekuatan negara, pasar, dan masyarakat dalam satu ekosistem kooperatif.

Menurut Prof. Agus Pakpahan, inilah paradoks Indonesia: negeri ini punya bukti empiris bahwa model ekonomi alternatif bisa sukses seperti Keling Kumang, tetapi tidak punya ilmu pengetahuan sistematis untuk memahami, mereplikasi, dan mengembangkannya.
Ia menceritakan, Lincoln dalam menghadapi krisis perang saudara dan transformasi ekonomi, menciptakan Land Grant University untuk mendemokratisasi pengetahuan pertanian. Roosevelt, menghadapi Depresi Besar, mendukung berkembangnya makroekonomi Keynesian sebagai ilmu baru.
“Sekarang, Indonesia menghadapi krisis yang sama besarnya—dan membutuhkan revolusi akademik yang sama radikalnya,” kata alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Kegagalan Pendidikan Tinggi Konvensional
Menurut Prof. Agus Pakpahan, ilmu ekonomi yang diajarkan di kampus-kampus dalam negeri didasarkan pada asumsi homo economicus—manusia sebagai makhluk rasional pencari kepuasan individual maksimal. Asumsi ini, kata dia, terbukti keliru secara empiris:
“Yang lebih parah: ekonomi neoklasik tidak punya alat konseptual untuk memahami koperasi. Bagaimana memodelkan organisasi yang tujuannya bukan profit maksimalisasi, tetapi keseimbangan ekonomi-sosial? Bagaimana memahami keputusan yang dibuat secara demokratis, bukan oleh CEO?” katanya.
Contoh nyata, kata Prof. Agus Pakpahan, ketika Keling Kumang memberikan pinjaman tanpa agunan fisik, berdasarkan kepercayaan—itu tidak masuk dalam model ekonomi konvensional. Menurut textbook, itu harusnya gagal. Tapi nyatanya berhasil dengan NPL hanya 0,8%.
Ia menjelaskan, ilmu manajemen dirancang untuk korporasi kapitalis dengan karakteristik struktur hierarkis piramidal. Tujuannya maksimalisasi shareholder value. Pengambilan keputusan secara top-down, dab akuntabilitas: ke pemegang saham dan regulator.
Berbeda dengan ilmu manajemen, koperasi memiliki karakteristik lebih demokratis (one member one vote), tujuannya untuk kesejahteraan anggota dan komunitas, dengan sistem pengambilan keputusan partisipatif. Akuntabilitas: ke anggota dan nilai sosial.
Karena berbeda karakter, Prof. Agus Pakpahan mengungkapkan ketika pengurus koperasi mencoba menerapkan ilmu manajemen korporat, yang terjadi seringkali malapetaka. Mulai dari birokratisasi yang mengalienasi anggota, fokus pada profit mengabaikan tujuan sosial, hingga keputusan terpusat menghancurkan partisipasi.

Fragmentasi Disiplin: Pohon Tanpa Hutan
Masalah ketiga: disiplin ilmu yang terfragmentasi. Ekonomi di fakultas sendiri, sosiologi di fakultas lain, ekologi di tempat berbeda lagi. Padahal koperasi adalah fenomena multidimensi sekaligus:
· Ekonomi: Efisiensi, produktivitas, keuntungan
· Sosial: Demokrasi, partisipasi, keadilan
· Ekologis: Regenerasi, keberlanjutan, keseimbangan
· Budaya: Nilai lokal, kepercayaan, identitas
“Untuk memahami koperasi, kita perlu pendekatan integratif—tapi universitas konvensional tidak dirancang untuk itu,” katanya.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *