KONSULTASI
Logo

Industri Sawit Indonesia Hasilkan Dua Jenis Devisa, Ekspor dan Substitusi Impor

10 November 2025
AuthorDwi Fatimah
EditorDwi Fatimah
Industri Sawit Indonesia Hasilkan Dua Jenis Devisa, Ekspor dan Substitusi Impor
HOT NEWS

sawitsetara.co – JAKARTA – Industri kelapa sawit nasional terus membuktikan peran strategisnya dalam menopang ketahanan ekonomi Indonesia. Tak hanya menjadi penyumbang utama devisa ekspor, sektor ini juga menciptakan devisa substitusi impor melalui pengembangan biodiesel berbasis minyak sawit.

Sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia mencatat kontribusi signifikan terhadap neraca perdagangan nasional. Berdasarkan berbagai studi (World Growth, 2011; Rifin, 2011, 2012; Edward, 2019; Rifin et al., 2020), ekspor minyak sawit menjadi salah satu penggerak utama perekonomian nasional.

Selain menopang ekspor, minyak sawit juga dimanfaatkan untuk produksi biodiesel, yang menggantikan solar fosil impor. Artinya, industri sawit menghasilkan dua sumber devisa sekaligus: devisa ekspor dan devisa substitusi impor (PASPI Monitor, 2022–2024).

Laporan PASPI Monitor (2025) berjudul “Devisa Sawit dalam Neraca Perdagangan Indonesia” mencatat, sejak tahun 2000, kebijakan perdagangan sawit Indonesia berorientasi ekspor. Hasilnya nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya melonjak dari US$1,1 miliar pada tahun 2000 menjadi US$21,6 miliar pada 2010.


Sawit Setara Default Ad Banner

Puncaknya terjadi pada masa pandemi Covid-19, saat devisa ekspor sawit menembus US$39 miliar pada 2022, tertinggi sepanjang sejarah (PASPI Monitor, 2023a). Meski sempat fluktuatif, pada 2024 nilainya tetap tinggi di kisaran US$28,3 miliar.

Kinerja ekspor yang kuat ini juga didorong oleh keberhasilan program hilirisasi. Jika pada 2011 ekspor masih didominasi produk mentah (CPO dan CPKO) sebesar 52%, maka pada 2024 komposisinya berubah drastis:

- Produk olahan: 74%

- Produk akhir: 16%

- Produk mentah: 10%

Perubahan ini menunjukkan nilai tambah yang meningkat, sekaligus mencerminkan keberhasilan strategi hilirisasi sawit dalam memperkuat kualitas devisa ekspor nasional.

Selain dari ekspor, Indonesia juga berhasil menghemat devisa impor berkat program mandatori biodiesel. Sejak diluncurkan pada 2006, kebijakan ini terus berkembang pesat.

Dalam satu dekade terakhir, kadar campuran biodiesel meningkat dari B15 (2015), menjadi B20 (2018), B30 (2020), B35 (2023), hingga B40 pada 2024. Pemerintah bahkan menargetkan penerapan B50 pada 2026 (PASPI Monitor, 2025b).


Sawit Setara Default Ad Banner

Kebijakan tersebut berkontribusi besar terhadap penghematan devisa impor solar fosil. Nilainya naik dari US$0,3 miliar pada 2015 menjadi US$8,3 miliar pada 2022, dan kembali mencapai US$8,1 miliar pada 2024. Jumlah ini sangat dipengaruhi oleh tingkat implementasi program biodiesel dan harga solar di pasar dunia.

Jika digabungkan, total devisa sawit — gabungan devisa ekspor dan substitusi impor — meningkat tajam dari US$18,9 miliar pada 2015 menjadi US$36,4 miliar pada 2024. Rekor tertinggi dicatat pada 2022 dengan total devisa mencapai US$47,3 miliar.

Angka-angka tersebut menegaskan posisi industri kelapa sawit sebagai penopang utama perekonomian Indonesia, sekaligus motor penggerak transisi energi bersih melalui pemanfaatan biodiesel sawit.


Berita Sebelumnya
GAPKI Soroti Lambatnya PSR dan Dampak Kebijakan B50 terhadap Ekspor maupun Harga Minyak Goreng

GAPKI Soroti Lambatnya PSR dan Dampak Kebijakan B50 terhadap Ekspor maupun Harga Minyak Goreng

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono menyampaikan pandangannya terkait sejumlah isu krusial dalam industri kelapa sawit. Mulai dari lambatnya peremajaan sawit rakyat (PSR) hingga potensi dampak kebijakan B50 terhadap ekspor dan harga minyak goreng dalam negeri.

| Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *