sawitsetara.co – JAKARTA – Indonesia merupakan negara pemasok minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) terbesar untuk kebutuhan global dengan persentase lebih dari 50%. Kendati demikian, Head of International Relation DPP APKASINDO, Djono A. Burhan, S.Kom, ’Mgt (Int.Bus), CC.,CL, mengungkapkan peluang petani sawit kecil di Tanah Air untuk terlibat dalam pasar global menghadapi sejumlah tantangan.
“Terdapat beberapa tantangan petani sawit dalam pasar global,” kata Djono saat menjadi pembicara Focus Group Discussion (FGD) oleh Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) di Hotel Double Tree, Jl. Pegangsaan Timur No.17, Cikini, Jakarta Pusat, pada Jumat (26/9/2025).
Adapun agenda diskusi dengan tema “Hambatan dan Peluang Partisipasi Petani Sawit di Pasar Global” ini ditaja dalam rangka membahas regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang kian menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap standar keberlanjutan global bagi seluruh rantai pasok kelapa sawit, termasuk petani sawit yang mengelola 41% dari total perkebunan sawit Indonesia (16,38 juta ha).
Namun, posisi petani masih menghadapi berbagai hambatan yang membatasi partisipasi efektif mereka di pasar internasional. Djono mengungkapkan, salah satu hambatan krusial adalah terkait legalitas lahan petani. Selain itu, yang menjadi perdebatan berkepanjangan adalah disparitas harga dan kualitas tandan buah segar (TBS) di berbagai provinsi di Indonesia. Padahal, kata dia, untuk meningkatkan kualitas TBS juga dibutuhkan stabilitas harga.
“Ini menjadi hal yang penting, karena untuk meningkatkan produktivitas dan juga untuk meningkatkan kualitas TBS atau dalam arti kata rendemen berarti dibutuhkan harga yang stabil dan juga baik,” kata Djono.
Djono juga menyoroti tantangan ketimpangan harga yang amat jomplang di berbagai daerah. Ia mencontohkan, di Sumatera harga TBS rerata sudah diatas Rp 3.000-an/kg terkhusus petani bermitra (mitra swadaya dan mitra plasma), sedangkan di Sulawesi justru berada di angka Rp 2.000-an/kg. Buntutnya, terkadang masih terdapat kecemburuan sosial antara petani di berbagai daerah karena harga TBS yang berbeda-beda. DPP APKASINDO selalu merilis harga TBS di 25 Provinsi APKASINDO sebagai gambaran eksisting disparitas harga TBS.
"Intinya permasalahan harga TBS Petani, terkhusus petani swadaya menjadi tantangan pemangku kebijakan dalam menghadapi diberlakukannya EUDR di 2027 nanti" kata Djono yang mengambil topik disertasi Doktoral terkait ke Sistem Perdagangan CPO Global dan Keberlanjutan.
Frame kendala utama yang selalu menjadi 'juaranya' hambatan sawit Indonesia adalah terkait klaim kawasan hutan yang sudah tidak berhutan. Permasalahan ini semakin mencuat sejak 2010 (DPP APKASINDO, 2024). Menurutnya, permasalahan ini bisa ditengahi dengan merujuk ke UU Pokok Kehutanan No 41 Tahun 1999. Kehadiran negara menyelesaikan masalah ini sangat urgent, menyelesaikan masalah tanpa masalah dan itu harapan seluruh masyarakat Indonesia.
"Saya melihat permasalahan terkait kawasan hutan ini adalah peluang, bukan tantangan, karena kuncinya ada di pemerintah. Jadi ini masalah domestik, bukan global" tegas Djono.
Yang paling miris adalah klaim kawasan hutan ini paling dominan dirasakan oleh petani dan dalam hal ini petani sawit tidak berdaya. "Fenomena ini membuat traceability atau ketelusuran kebun petani sawit menjadi tantangan yang sesungguhnya adalah peluang menghadapi EUDR, asalkan Pemerintah mau meninjau kembali regulasi yang negatif terhadap hulu hilir sawit” katanya.
Djono mengatakan bahwa hambatan yang selama ini dianggap sebagai ancaman sesungguhnya adalah peluang untuk lebih eksis di pasar global dalam hal citra positif, termasuk akses pasar CPO atau turunannya di pasar internasional.
Peluang pertama, yaitu peningkatan produktivitas. Kedua, sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO dan RSPO harus lebih didukung oleh pemerintah sehingga petani dapat lebih mudah dan didampingi dalam mendapatkan sertifikasi keberlanjutan ini. Ketiga, implementasi teknologi yang mudah dan murah, karena selama ini teknologi yang dikembangkan masih banyak yang berorientasi pada perusahaan, sehingga jika diimplementasikan ke kebun petani, biayanya menjadi sangat mahal. Keempat, mulai adanya digitalisasi di industri sawit khususnya kebun petani.
"Untuk merubah tantangan menjadi peluang tersebut adalah dengan cara 'de-regulasi' semua regulasi yang negatif terhadap industri hulu hilir sawit Indonesia. Tanpa itu, semua peluang justru akan menjadi tantangan yang tidak berkesudahan" tutur Djono.
“Dan yang terakhir tentunya kita mendorong inovasi UMKM turunan kelapa sawit. Sehingga memberikan nilai tambah kepada petani kelapa sawit dan meningkatkan citra sawit di mata dunia.” Tambahnya.
Oleh karena sawit Indonesia itu dikelola petani hampir 50%, pemikiran dan kreatifitas petani dalam diplomasi sawit Indonesia menjadi sangat penting, sembari mengucapkan terimakasih kepada INDEF yang sudah menerima buahpemikiran dari petani sawit pada berbagai pertemuan diplomasi sawit global.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *