sawitsetara.co - JAKARTA - Rencana pemerintah untuk meningkatkan campuran biodiesel dari B40 menjadi B50 menuai perhatian serius dari pelaku industri sawit. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengingatkan bahwa meski secara pasokan crude palm oil (CPO) Indonesia diyakini mampu memenuhi tambahan permintaan sebesar 3,2 juta ton per tahun, tantangan utama justru terletak pada aspek teknis dan ekonomi dari penerapan B50.
“Dalam hal persediaan, saya kira tidak masalah. Tapi karakteristik FAME (fatty acid methyl ester) sebagai biodiesel berbeda dengan solar fosil biasa. Ini perlu dipertimbangkan dengan sangat hati-hati,” ujar Sahat dalam wawancara khusus dikutip dari kanal YouTube CNBC Indonesia.
Sahat menegaskan, FAME sebagai bahan utama biodiesel memiliki sifat oksigenat karena adanya gugus karboksil yang menyerap air. Hal ini bisa menimbulkan risiko kerusakan mesin diesel jika digunakan dalam jangka panjang, terutama pada mesin-mesin yang belum teruji kompatibilitasnya dengan B50.
“Kalau B50 dipaksakan tanpa uji teknis menyeluruh, bisa menimbulkan kerusakan mesin dan justru meningkatkan total biaya nasional. Jangan sampai tujuan penghematan energi malah berbalik merugikan,” tegasnya.
Saat ini Indonesia masih mengandalkan teknologi esterifikasi untuk memproduksi FAME. Menurut Sahat, teknologi ini sudah tergolong rendah dan tidak efisien untuk jangka panjang, terutama jika ingin menuju target ambisius seperti B100.
“FAME itu oksigenat, serap air. Kalau disimpan lama, kualitasnya turun. Teknologi alternatif seperti hydrogenated vegetable oil (HVO) atau HVU sebenarnya sudah dijajaki sejak tiga tahun lalu, tapi kenapa belum dijalankan?” tanyanya.
HVO disebut sebagai solusi lebih canggih karena menghasilkan bahan bakar ‘drop-in’ yang setara dengan solar fosil, sehingga tidak perlu modifikasi mesin.
Faktor ekonomi juga menjadi sorotan. Dengan harga minyak dunia turun di bawah USD 60 per barel, biaya produksi biodiesel berbasis CPO menjadi tidak kompetitif. Sahat memaparkan bahwa dengan harga CPO sekitar USD 950 per ton dan tambahan biaya produksi USD 85, harga per barel biodiesel dari FAME bisa mencapai USD 138, jauh di atas harga solar Euro 5 impor yang hanya sekitar USD 86 per barel.
“Selisihnya bisa sampai USD 50 per barel. Kalau dikalikan 3 juta ton, itu kerugian sekitar USD 240 juta. Siapa yang menanggung? Ini perlu dipikirkan secara matang,” kata Sahat.
Sahat juga mengkritik strategi hilirisasi biodiesel yang terlalu fokus pada FAME, yang hanya memberikan nilai tambah sekitar USD 85 dari CPO. Padahal, menurutnya, ada potensi besar dari produk bio lainnya yang bisa mencapai nilai tambah hingga USD 2.800 per ton.
“Kenapa kita tidak kembangkan produk bio lain yang lebih bernilai? Jangan hanya ikut euforia. Perlu roadmap yang jelas, riset yang matang, dan keputusan berbasis fakta,” serunya.
Menanggapi pernyataan Menteri ESDM yang sejalan dengan arahan Presiden soal kemandirian energi, Sahat menyatakan setuju dengan visinya. Namun, ia menyoroti pentingnya strategi yang tepat agar cita-cita tersebut tercapai tanpa mengorbankan efisiensi dan keberlanjutan.
“Kalau kita berharap FAME bisa sampai B100, itu melawan hukum alam. Kita butuh terobosan teknologi dan strategi yang realistis,” tandasnya.
Di tengah rencana besar menuju energi bersih, Sahat juga mengingatkan bahwa produktivitas sawit Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan. Ini menambah kompleksitas dalam menjamin keberlanjutan pasokan bahan baku untuk biodiesel.
“Jangan sampai karena terlalu terburu-buru, kita justru menciptakan masalah baru. Ini saatnya berpikir strategis, bukan sekadar simbolik,” tutup Sahat.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *