
sawitsetara.co – PONTIANAK – Rencana pemerintah untuk meningkatkan campuran biodiesel menjadi B50 pada tahun depan memicu kekhawatiran di kalangan petani sawit di Kalimantan Barat (Kalbar). Mereka menilai kebijakan ini berpotensi menekan harga tandan buah segar (TBS) akibat pembatasan ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Kalbar, Indra Rustandi, menekankan pentingnya kebijakan pembatasan ekspor CPO diterapkan secara bijak. Ia mengatakan, jika ekspor berkurang, tentu akan berdampak pada pendapatan.
“Pertanyaannya, uang untuk membiayai biodiesel dari mana? Selama ini program biodiesel sudah mandatory dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP),” ujarnya, seperti dikutip dari Pontianakpost, Selasa (4/11/2025).

Indra juga menyoroti potensi kenaikan pungutan ekspor CPO. Saat ini, pemerintah telah menetapkan tarif pungutan ekspor CPO sebesar 10 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025, naik dari 7,5 persen sebelumnya. Dengan wacana peningkatan ke B50, pungutan ekspor CPO dikhawatirkan akan naik hingga 15 persen.
“Kalau dinaikkan ke 15 persen, maka harga sawit bisa tertekan,” kata Indra.
Perhitungan menunjukkan bahwa tekanan harga sawit bisa memotong sekitar Rp1.700 per kilogram TBS. Dengan harga pokok produksi (HPP) TBS sekitar Rp1.800–2.100 per kilogram dan asumsi harga rata-rata TBS saat ini Rp3.400 per kilogram, kenaikan pungutan ekspor berpotensi membuat pendapatan petani justru merugi.
“Harga TBS sekarang Rp3.400, dipotong pungutan Rp1.700 dan HPP Rp1.800, malah habis,” kata Indra.

Indra mengingatkan agar pemerintah tidak memberikan harapan palsu bahwa B50 akan mendongkrak harga TBS. “Tapi kalau perhitungan kami sebagai petani justru akan menekan harga,” ucapnya.
Di sisi lain, produksi sawit berorientasi ekspor di Kalbar menunjukkan tren yang beragam. Volume ekspor CPO per September 2025 mencapai 47,99 ribu ton, naik 9,3 persen dibanding tahun lalu. Namun, ekspor produk turunan CPO turun 40,3 persen secara tahunan.
Kepala Bidang Fasilitas Kepabeanan dan Cukai DJBC Kalbagbar, Beni Novri, menyebutkan bahwa tingginya harga CPO global berhasil mendongkrak penerimaan bea keluar. “Walaupun terjadi penurunan volume ekspor produk turunan CPO sebesar 40,3 persen (yoy) dibanding 2024, tingginya harga CPO mendongkrak tumbuhnya capaian bea keluar tahun 2025,” kata Beni.

CPO dan produk turunannya menjadi komoditas terbesar ekspor melalui Pelabuhan Internasional Kijing, ungkap Budi Prasetio, Executive Director Pelindo Regional 2. “Sekarang yang menjadi andalan kita di Pelabuhan Kijing itu ekspor CPO dan produk turunannya. Selain CPO, ekspor tertinggi juga pada alumina,” tutur Budi.
Pengamat Ekonomi Universitas Tanjungpura, Muhammad Fahmi, menilai kebijakan pembatasan ekspor CPO perlu dikaji secara menyeluruh. “Dunia ini sangat dinamis. Kalau terjadi pembatasan seperti ini, tentu pemerintah tidak akan tinggal diam. Pasti akan ada evaluasi teknis dan langkah-langkah antisipasi,” ujarnya.
Fahmi menekankan bahwa CPO akan tetap menjadi komoditas strategis selama kebutuhan pangan dan energi berbasis sawit masih tinggi. Ia berharap kebijakan tersebut memiliki roadmap yang jelas.
Fahmi juga mengingatkan agar Kalbar tidak hanya bergantung pada ekspor CPO mentah. “Mungkin produk ekspor lain perlu dimaksimalkan, agar tidak hanya mengandalkan CPO sebagai ekspor utama Kalbar,” katanya.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *