
sawitsetara.co – BOGOR – Kebijakan penertiban kawasan hutan yang dijalankan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dinilai berpotensi melahirkan persoalan baru jika tidak berpijak pada landasan hukum yang kuat dan pendekatan yang adil.
Niat baik negara untuk menertibkan penguasaan lahan memang patut diapresiasi, namun tanpa mekanisme yang benar, kebijakan tersebut justru berisiko merugikan masyarakat kecil dan mencederai prinsip keadilan.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.S., MPPA menilai, persoalan utama Satgas PKH bukan terletak pada tujuan, melainkan pada cara dan pijakan hukum yang digunakan.
Menurutnya, menjadikan klaim kawasan hutan sebagai dasar utama penertiban masih menyisakan problem serius dalam tata kelola kehutanan nasional.
“Niat negara untuk menertibkan penguasaan lahan itu baik, tetapi niat baik tidak pernah cukup jika tidak disertai cara yang benar dan dasar hukum yang kuat,” ujar Prof. Sudarsono dalam tulisannya yang dimuat Sawit Indonesia, Sabtu (20/12/2025).
Ia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas mengatur bahwa penetapan kawasan hutan harus melalui tahapan yang jelas, mulai dari penunjukan, penataan batas, pemetaan, hingga penetapan.
Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan hutan di Indonesia masih berhenti pada tahap penunjukan, sehingga status hukumnya belum final.
“Selama kawasan hutan itu belum ditetapkan secara sah, maka secara hukum ia masih berupa klaim administratif negara, bukan status hukum yang final,” tegasnya.

Pandangan tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 dan Nomor 34/PUU-IX/2011 yang menegaskan bahwa kawasan hutan yang belum ditetapkan tidak dapat diperlakukan seolah-olah telah sah secara hukum.
Karena itu, Prof. Sudarsono menilai penggunaan klaim kawasan hutan sebagai dasar penertiban kebun rakyat merupakan langkah yang keliru.
“Negara seharusnya membereskan klaimnya sendiri terlebih dahulu. Tidak adil jika rakyat ditertibkan atas dasar klaim yang secara hukum belum selesai,” katanya.
Ia juga menyoroti kondisi di lapangan yang sudah terlanjur kompleks akibat tumpang tindih penguasaan lahan. Dalam situasi seperti ini, pendekatan represif terhadap petani kecil dinilai tidak tepat dan berpotensi memperbesar ketidakpercayaan publik terhadap negara.
“Bagi petani kecil, kebun bukan aset spekulatif. Itu soal hidup dan mati keluarga mereka. Kalau negara hadir dengan pendekatan kekuasaan semata, yang lahir justru rasa ketidakadilan,” ujar Prof. Sudarsono.
Menurutnya, negara perlu membedakan secara tegas antara kebun rakyat dan praktik penyimpangan yang dilakukan korporasi. Ia menilai, fokus penertiban seharusnya diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang terbukti menguasai lahan melebihi izin yang diberikan.
“Penyimpangan izin oleh korporasi itu jelas dan bisa dibuktikan. Luas kebun riil yang melampaui izin bukan wilayah abu-abu, itu pelanggaran nyata,” tegasnya.
Ia menambahkan, negara memiliki kewajiban untuk menyita kelebihan lahan tersebut dan menjatuhkan sanksi yang proporsional. Langkah ini dinilai jauh lebih kuat secara hukum dan lebih adil secara sosial dibandingkan menertibkan kebun petani kecil yang berada dalam klaim kawasan hutan yang belum tuntas.
“Menertibkan kelebihan lahan korporasi akan mengembalikan wibawa negara. Tapi tentu sanksinya juga harus proporsional, jangan sampai mematikan usaha secara total tanpa perhitungan,” ujarnya.
Prof. Sudarsono menegaskan, jika Satgas PKH ingin berhasil dan mendapatkan legitimasi publik, maka arah kebijakannya perlu dikoreksi. Penataan klaim kawasan hutan harus diselesaikan terlebih dahulu, kebun petani kecil harus dilindungi, dan penegakan hukum difokuskan pada pelanggaran korporasi.
“Negara tidak boleh menegakkan hukum dengan cara yang melanggar hukum itu sendiri. Penertiban kawasan hutan harus sah secara hukum, adil secara sosial, dan bermartabat secara moral,” ujarnya.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *