
sawitsetara.co – JAKARTA – Enam butir benih itu yang kemudian didistribusikan ke Sumatra Utara, awalnya hanya menjadi tanaman pagar. Siapa sangka, ini menjadi cikal bakal industri sawit Indonesia.
Begitulah ungkap Dwi Asmono, Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) DALAM kuliah ilmiah Indonesia Innovator Lecture (IIL) 2025.
Lebih lanjut Dwi mengakui bahwa benih kelapa sawit merupakan infrastruktur strategis yang menentukan ketahanan pangan dan energi nasional.
“Di era krisis iklim dan geopolitik pangan dan energi, benih adalah awal dari segalanya,” kata Dwi, mengutip laman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Benih (sawit) itu kecil, tapi memberi harapan besar,” tegas Dwi .
Awalnya, lanjut Dwi, enam butir benih kelapa sawit yang dibawa oleh Belanda dan ditanam di Kebun Raya Bogor pada 1848. Enam butir benih itu yang kemudian didistribusikan ke Sumatra Utara, awalnya hanya menjadi tanaman pagar. Siapa sangka, ini menjadi cikal bakal industri sawit Indonesia. “Ini bukan kebetulan,” kata Dwi.

Dwi menegaskan bahwa perjalanan panjang sawit di Indonesia penuh momen strategis. Dari pendirian stasiun penelitian sawit pada 1916, transformasi industri di era Presiden Soeharto pada 1980-an, hingga inovasi genetik modern yang kini memanfaatkan teknologi genom.
Menurut Dwi, yang lebih dari 35 tahun berkecimpung di riset dan industri sawit, benih bukan sekadar input produksi. “Benih adalah infrastruktur strategis ketahanan nasional,” tegas Dwi yang juga sebagai salah satu Direktur di PT Sampoerna Agro Tbk.
Dwi juga menjelaskan, bahwa produktivitas sawit Indonesia menopang 40% pasokan minyak nabati dunia. Namun, potensi genetik varietas unggul yang mencapai 8–9 ton crude palm oil (CPO)/hektare/tahun belum terwujud di lapangan. Rata-rata nasional masih di bawah 4 ton, dengan gap produktivitas 37% di perkebunan besar dan 47% di perkebunan rakyat.
“Kita tidak bisa hanya menghasilkan benih yang cocok di satu wilayah. Indonesia punya agroklimat beragam, varietas harus adaptif,” jelas Dwi.
Dwi menambahkan, “dalam kondisi normal, 50% wilayah Indonesia cocok untuk sawit. Namun, saat El Niño, turun menjadi 29 persen.”
Dwi pun menerangkan, pergeseran strategi dari modified recurrent selection ke genomic selection, yang mempersingkat siklus pemuliaan dan memperkuat seleksi pada populasi besar. Teknologi seperti marker-assisted selection, pengeditan genom, analisis epigenetik, dan rekayasa mikrobioma tanaman kini menjadi bagian integral.

Sekitar 15 tahun lalu, Malaysia memulai pemetaan genom sawit. Indonesia, Dwi mengatakan, memilih jalan kolaborasi, yakni membentuk konsorsium Oil Palm Genome Project bersama mitra internasional. “Sekarang kita bisa bilang ‘kita juga bisa’,” kata Dwi.
Dwi pun mengakui bahwa, inovasi genetik harus berjalan bersama ekosistem yang sehat, dimulai dari produksi, sertifikasi, distribusi, dan perlindungan varietas. Saat ini, Indonesia memiliki 82 varietas sawit terdaftar, kapasitas produksi 540 juta butir per tahun, distribusi sekitar 130 juta butir, dengan kontribusi timnya mencapai 630 juta benih tertanam di 3,1 juta hektare.
Perlindungan varietas di dalam negeri sudah berjalan melalui PVT. Namun untuk ekspor, perlindungan internasional perlu diperkuat. “Kalau kita ekspor ke India, Afrika, Amerika Selatan, kita belum punya perlindungan yang memadai,” jelas Dwi.
Dwi memetakan visi tiga tahap. Dalam jangka pendek, dia menekankan pentingnya memperkecil kesenjangan produksi dan memperluas adaptabilitas varietas. Dalam jangka menengah, perlunya meningkatkan kesejahteraan petani. Dan jangka panjang, perlunya meningkatkan efisiensi lahan, ketahanan pangan dan energi, serta daya saing global.
“Indonesia bukan hanya pengekspor minyak sawit. Kita adalah penjaga plasma nutfah, pemulia masa depan, dan pemimpin tropika yang membangun ketahanan pangan dan energi dunia—dimulai dari benih,” pungkas Dwi.

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *