
sawitsetara.co – JAKARTA – Komoditas kelapa sawit di Indonesia telah menerapkan prinsip dan kriteria sustainability (keberlanjutan). Hal ini dibuktikan dengan telah mendapatkan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) oleh beberapa pelaku kelapa sawit.
Bahkan hampir seluruh perusahaan yang tergabung dalam GAPKI telah mengantongi sertifikat ISPO. “Sertifikasi tersebut mengharuskan perusahaan memenuhi ketentuan tata ruang, perlindungan daerah aliran sungai (DAS), dan standar keberlanjutan lainnya. Kalau tidak sesuai tata ruang atau melanggar ketentuan DAS, pasti tidak akan mendapatkan sertifikat ISPO,” papar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, kepada sawitsetara.co, Sabtu (13/12/2025).
Artinya dengan adanya dua sertifikasi tersebut pelaku kelapa sawit dalam membangun perkebunan yang memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan.

Lebih lanjut, Eddy menambahkan, perusahaan sawit yang mampu memenuhi standar ISPO maupun RSPO pada dasarnya sudah menjalankan prinsip konservasi dan pengelolaan berkelanjutan. Dengan demikian, sertifikasi tersebut bisa menjadi bukti bahwa operasional perusahaan tidak bertentangan dengan ketentuan lingkungan. “Apabila bisa lolos ISPO dan RSPO, saya rasa tidak masalah perihal ini,” jelas Eddy.
Eddy menegaskan, GAPKI sebagai pelaku usaha berkomitmen menjalankan seluruh kebijakan yang ditetapkan regulator.
Sebelumnya, Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Prof. Sudarsono Soedomo pun menjelaskan gambaran tentang kehutanan Indonesia hari ini jauh lebih kompleks daripada sekadar persoalan ekspansi sawit. Banyak kawasan hutan telah mengalami degradasi parah jauh sebelum kelapa sawit menjadi komoditas dominan, baik akibat pembalakan liar, tata kelola yang lemah, maupun ketidaktegasan negara dalam menegakkan hak menguasai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

Prof Soedomo pun menjelaskan, gambaran tentang kehutanan Indonesia hari ini jauh lebih kompleks daripada sekadar persoalan ekspansi sawit. Banyak kawasan hutan telah mengalami degradasi parah jauh sebelum kelapa sawit menjadi komoditas dominan, baik akibat pembalakan liar, tata kelola yang lemah, maupun ketidaktegasan negara dalam menegakkan hak menguasai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dengan kata lain, problem terbesar kehutanan Indonesia bukan hanya alih fungsi menjadi perkebunan, tetapi runtuhnya sistem pengelolaan hutan itu sendiri. Di banyak tempat, menurutnya, hutan rusak bukan karena diganti sawit, tetapi karena dibiarkan menjadi “open access”, tanpa kepastian hukum, tanpa pengelola, tanpa strategi pemulihan. Ia juga menyayangkan sebagian pihak yang seringkali menjadikan sawit sebagai kambing hitam bencana banjir.
“Selama bertahun-tahun, kelapa sawit dituduh sebagai penyebab utama hilangnya hutan. Narasi ini terus berulang, padahal faktanya jauh lebih kompleks,” pungkas Prof Sudarsono.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *