Sawitsetara.co – JAKARTA – Kabar gembira bagi masyarakat adat yang bermukim di kawasan hutan. Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan mereka untuk melakukan kegiatan perkebunan, termasuk kelapa sawit, di wilayah tersebut. Namun, ada catatan penting: perkebunan harus untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan tujuan komersial.
Keputusan ini hasil dari pengabulan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. MK berpendapat larangan bagi siapa pun untuk berkebun di hutan tanpa izin dikecualikan bagi masyarakat adat yang telah hidup turun-temurun di dalam hutan dan tidak mencari keuntungan.
“Sepanjang tidak dimaknai ‘dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial’,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (16/10/2025), seperti dikutip Riauaktual.com
Sebelumnya, Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU Cipta Kerja melarang kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. Namun, kini aturan tersebut mengalami perubahan signifikan. Hakim Konstitusi Enny Nuraningsih menjelaskan, aturan tersebut kini tidak berlaku bagi masyarakat adat selama kegiatan mereka tidak bersifat komersial.
“Ketentuan itu tidak dilarang bagi masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial,” jelas Enny.
Enny menambahkan, keputusan ini sejalan dengan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 yang telah memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat. Hal ini berarti, masyarakat adat yang berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak akan dikenai sanksi administratif.
Lebih lanjut, Enny menegaskan bahwa masyarakat adat tidak perlu memiliki izin berusaha dari pemerintah pusat jika kegiatan perkebunan mereka tidak bersifat komersial. “Sepanjang kegiatan perkebunan yang dilakukan masyarakat tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, mereka tidak perlu memperoleh perizinan berusaha,” kata Enny.
Di sisi lain, MK juga menyoroti kebutuhan mendesak untuk menata kawasan hutan secara komprehensif. Perhatian ini muncul seiring dengan evaluasi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2013 yang selama ini memberikan sanksi pidana bagi kegiatan perkebunan ilegal di kawasan hutan.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kompleksitas yang lebih besar. Banyak kegiatan masyarakat dan pemukiman yang telah ada di dalam kawasan hutan, seringkali akibat ketidakselarasan tata ruang antara pemerintah pusat dan daerah. Melalui UU 6/2023, pemerintah diharapkan mengubah pendekatan, tidak hanya represif tetapi juga mempertimbangkan partisipasi dan perlindungan masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian hutan.
“Berlakunya Pasal 110B UU a quo dimaksudkan untuk mengakomodasi kegiatan di luar bidang kehutanan yang bersifat komersial. Pemerintah harus segera menyelesaikan penataan kawasan hutan secara komprehensif,” ujar Enny.
Adapun keputusan MK mengizinkan masyarakat adat melakukan kegiatan perkebunan di kawasan hutan adalah putusan gugatan material dengan Perkara Nomor 181/PUU-XXII/2024 yanh diajukan oleh Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), sebuah lembaga yang telah berdiri sejak 1998 dan berfokus pada kajian kebijakan serta dampak pengelolaan sawit terhadap aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.
Nurhanudin Achmad, Koordinator Badan Pengurus Sawit Watch, mewakili pemohon, berpendapat bahwa sanksi administratif dalam UU 18/2013 dan UU 6/2023 tidak memberikan solusi bagi masyarakat kecil. Mereka menilai kebijakan tersebut berpotensi menjadi “pemutihan” bagi perusahaan besar yang mengelola perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan.
“Kami mendesak pemerintah untuk bersikap lebih persuasif terhadap masyarakat yang tinggal di atau sekitar kawasan hutan, dengan melakukan pendataan dan penataan ulang kawasan hutan secara adil,” kata Nurhanudin.
Tags:
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *