
Langkah pemerintah melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk menagih denda kepada pelaku usaha perkebunan sawit ilegal berpotensi menimbulkan masalah baru.
Sebab, persoalan utama bukan semata pada kebun sawit yang dituding ilegal, melainkan pada status kawasan hutan itu sendiri.
Kalau tanah yang ditanami sawit benar-benar kawasan hutan yang dibentuk sesuai UU No 41/1999, silakan pemerintah menindak. Tetapi faktanya, sebagian besar kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan baru sebatas penunjukan, belum melalui empat tahap sesuai pasal 15, yaitu penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan,.
Banyak lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan sebenarnya telah lebih dulu dimanfaatkan masyarakat, baik untuk kebun karet, kopi, cokelat, sawit, maupun permukiman yang sudah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka. "Yang ilegal itu dalam banyak kasus adalah justru kawasan hutannya. Fakta ini yang diabaikan, bahkan menjadi rujukan.
Revisi PP ini tidak serta-merta memperbaiki iklim investasi. Selama definisi kawasan hutan masih keliru, kepastian hukum bagi investor tetap kabur. “Kehutanan menguasai dua pertiga tanah Indonesia, tapi kontribusinya ke PDB kurang dari 1 persen. Klaim kawasan hutan yang keliru justru menghambat pembangunan di luar Jawa, dan ini membuat investasi tidak menarik.
Kasus tanah transmigrasi yang sudah bersertifikat hak milik. Namun, tiba-tiba diklaim masuk kawasan hutan. Menurut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/2011, dalam kasus seperti ini maka Pasal 4 UU No 41/1999 tentang Kehutanan batal. Artinya, klaim kawasan hutan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Jika keputusan MK No 34/2011 itu diikuti, maka tidak ada yang namanya tumpang tindih SHM atau HGU dengan kawasan hutan, karena kawasan hutannya batal. Ini juga diabaikan, sehingga timbul ketidakpastian.
Bagaimana dengan petani plasma atau masyarakat kecil yang menggantungkan hidup pada sawit di kawasan yang disebut ilegal? Sudarsono menyarankan pendekatan keadilan. “Petani mampu bayar sewa Rp500 ribu/hektare per tahun. Bandingkan dengan HTI (hutan tanaman industri) yang kontribusinya hanya sekitar Rp 280 ribu per hektare per tahun. Pilihlah kebijakan yang lebih memakmurkan rakyat.
Dalam jangka panjang, langkah Satgas PKH tersebut dinilai tidak akan efektif karena tidak menjawab persoalan pokoknya, yakni illegalitas sebagian besar kawasan hutan karena pembentukannya tidak sesuai dengan Pasal 15 UU 41/1999. Akibatnya adalah timbul ketidakpastian pemilikan atau penguasaan tanah, sehingga menghambat investasi jangka panjang.
Tanyakan kepada otoritas kehutanan bagaimana tata batas dilakukan dan di mana batas-batasnya. Saya jamin, mereka tidak akan bersedia menunjukkannya karena memang tidak ada.
Risiko besar konflik hukum. Bukan hanya korporasi yang merasa dirugikan, tetapi juga masyarakat kecil yang lahannya terperangkap dalam klaim kawasan hutan. “Saya berharap Presiden Prabowo menyadari situasi ini. Kalau masalah ini bisa diselesaikan, rakyat kecil yang paling banyak diuntungkan.
Penulis: Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Sudarsono Soedomo


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *