
sawitsetara.co - JAKARTA - Industri kelapa sawit Indonesia menyatakan siap menghadapi penerapan European Union Deforestation Regulation (EUDR), aturan baru Uni Eropa yang bertujuan menekan praktik deforestasi dari komoditas pertanian global, termasuk sawit, kopi, kakao, dan karet.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menegaskan bahwa pelaku industri nasional tidak gentar dengan percepatan penerapan regulasi tersebut. Ia memastikan, sebagian besar perusahaan sawit di Tanah Air telah memenuhi standar keberlanjutan yang dipersyaratkan.
“Untuk perusahaan, masa penyesuaian hanya enam bulan, sedangkan bagi petani satu tahun. Kalau dilihat dari kesiapan, perusahaan-perusahaan sawit Indonesia sebenarnya sudah siap menghadapi EUDR, meski belum seratus persen, tapi mayoritas siap,” ujar Eddy dalam konferensi pers di kantor GAPKI, Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Menurutnya, banyak perusahaan sawit di Indonesia sudah mematuhi aturan pokok EUDR, yakni tidak membuka lahan baru setelah 31 Desember 2020. Aturan itu menjadi batas tegas Uni Eropa untuk memastikan rantai pasok produknya bebas dari aktivitas yang memicu deforestasi.
Namun, Eddy tak menutup mata bahwa tantangan utama justru berada di tingkat petani sawit rakyat. Selama ini, belum ada regulasi nasional yang secara tegas membatasi pembukaan lahan oleh petani kecil di luar kawasan hutan.
“Yang menjadi masalah itu di petani. Mereka tidak punya aturan khusus yang melarang membuka lahan baru, selama itu bukan kawasan hutan dan diizinkan pemerintah daerah,” jelasnya.
Untuk itu, GAPKI mendorong adanya pendampingan dan pembinaan serius bagi petani sawit agar dapat menyesuaikan praktik usahanya sesuai standar keberlanjutan global.
Eddy menambahkan, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang cukup kuat untuk mencegah ekspansi kebun baru melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2019 tentang penghentian sementara izin perkebunan sawit baru. Regulasi tersebut juga menegaskan kewajiban perusahaan untuk tetap bermitra dengan petani rakyat, meskipun menghadapi tantangan implementasi EUDR.
“EUDR ini tidak akan berdampak signifikan di 2026. Pemerintah dan industri masih punya waktu untuk menyiapkan petani. Setidaknya masa penyesuaian satu tahun itu adalah kesempatan besar bagi kita,” tegas Eddy.
Sementara itu, laporan Bloomberg menyebutkan Komisi Eropa memutuskan memperpendek masa penundaan EUDR dari rencana semula satu tahun menjadi enam bulan untuk perusahaan besar. Langkah ini dinilai sebagai bentuk kompromi setelah perdebatan panjang dengan negara-negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia.
Di sisi lain, Menteri Perdagangan Budi Santoso menyampaikan kabar positif terkait sikap Uni Eropa yang kini lebih terbuka dalam negosiasi. Ia menilai, perjanjian dagang Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) menjadi momentum penting untuk memperlunak kebijakan protektif Eropa terhadap komoditas tropis Indonesia.
“Makanya setelah IEU-CEPA selesai, semuanya menjadi lebih melunak. Mudah-mudahan terus ke arah yang positif,” ujar Budi di Jakarta, Senin (29/9).
Dengan meningkatnya kesiapan industri dan adanya dukungan kebijakan pemerintah, pelaku sawit nasional optimistis dapat bertahan — bahkan memperkuat posisi ekspor Indonesia — di tengah ketatnya aturan perdagangan global berbasis lingkungan.
Tags:


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *