
sawitsetara.co — BALI — Industri sawit berada pada titik penting dalam menghadapi tekanan regulasi dan persepsi negatif dunia. Hal tersebut diungkapkan Adjunct Professor dari John Cabot University, Roma, Pietro Paganini, di hari kedua IPOC 2025. Dalam paparannya berjudul “EUDR and Beyond: Navigating New Frontiers for Palm Oil”, Paganini menyatakan bahwa tantangan terbesar sawit saat ini bukanlah produktivitas, melainkan masalah persepsi dan kepercayaan.
“Kelapa sawit adalah komoditas yang paling produktif dan paling inklusif, tetapi justru memiliki reputasi paling buruk,” ujar Paganini di IPOC 2025 di BICC The Westin Nusa Dua, Bali, Jumat (14/11/2025). Dia menekankan bahwa kesenjangan antara fakta dan persepsi telah membuat sawit kerap dijadikan kambing hitam, padahal komoditas ini berperan besar dalam pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan gizi dunia, serta efisiensi penggunaan lahan.
Menyoroti implementasi EU Deforestation Regulation (EUDR), Paganini menyebut regulasi tersebut sebagai awal dari gelombang baru standar pasar global. Menurutnya, dari pada melihat EUDR semata-mata sebagai hambatan, industri justru perlu menjadikannya arena kompetisi baru dalam membangun kepercayaan dan nilai tambah.
“Nol deforestasi dan keterlacakan penuh akan menjadi standar baru pasar global. EUDR membuka perlombaan global untuk membangun kepercayaan dan inovasi,” tegasnya.
Dia mengapresiasi adanya masa uji coba 24 bulan, masa transisi satu tahun bagi UMKM dan petani kecil, serta pembentukan komunitas praktik dan komite pengarah sebagai bentuk kompromi realistis untuk memastikan implementasi yang lebih inklusif.

Paganini kemudian menegaskan bahwa teknologi harus dipandang bukan sebagai beban biaya, melainkan investasi strategis dalam daya saing. “Teknologi adalah frontier baru bagi daya saing dan kepercayaan,” ujarnya.
Ia menekankan pemanfaatan drone dan satelit untuk pemantauan dan kepatuhan, blockchain untuk transparansi dan ketertelusuran, serta kecerdasan buatan (AI) untuk peningkatan efisiensi.
Menurut Paganini, peningkatan produktivitas melalui replanting, inovasi agronomi, hingga digitalisasi lahan merupakan pilar utama keberlanjutan.
“Semakin tinggi hasil panen, semakin rendah tekanan terhadap lahan. Inilah keberlanjutan yang sesungguhnya,” tuturnya.
Dia menambahkan bahwa arah pengembangan industri harus bergeser dari ekspansi lahan menuju pertumbuhan yang dilakukan dengan cerdas berbasis inovasi.

Melawan Narasi Negatif dengan Edukasi
Paganini menyoroti meningkatnya kebijakan anti-SAFA (Saturated Fate) dan maraknya klaim “palm oil-free” yang menurutnya menyesatkan konsumen dan tidak menyelesaikan persoalan nutrisi secara substansial.
“Klaim ‘tanpa sawit’ hanyalah jalan pintas pemasaran. Klaim ini menyerang sebuah bahan, bukan masalah yang sebenarnya,” tegasnya.
Dia menekankan perlunya komunikasi berbasis data, literasi gizi yang lebih komprehensif, dan upaya sistematis untuk meluruskan kesalahpahaman publik.
Di akhir paparannya, Paganini menyerukan agar negara produsen dan industri sawit tidak lagi bersikap reaktif, tetapi mengambil peran pemimpin dalam diplomasi keberlanjutan global.
Dia menekankan pentingnya membangun narasi baru bahwa sawit bukan sekadar komoditas, melainkan kekuatan pembangunan, kemakmuran, dan inovasi.

Produksi dan Pasar India
Di sisi lain, Chairman Asian Palm Oil Alliance (APOA) Atul Chaturvedi mengatakan bahwa India tengah berada pada fase kritis dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati nasional. Dengan konsumsi yang terus meningkat dan ketergantungan impor yang tinggi, India dinilai harus mengambil langkah strategis untuk meningkatkan produksi domestik sekaligus memperkuat kerja sama dengan negara produsen.
“India adalah pasar minyak nabati terbesar di dunia, namun sekaligus negara yang paling rentan karena ketergantungan impor mencapai 60%. Ini adalah tantangan besar yang tidak bisa diatasi hanya dengan kebijakan tarif, melainkan melalui upaya peningkatan produksi domestik dan kemitraan regional yang lebih kuat,” ujar Atul Chaturvedi.
Dalam paparannya, Chaturvedi menyampaikan bahwa permintaan minyak nabati India diproyeksikan naik signifikan seiring pertumbuhan ekonomi dan demografi. India kini merupakan ekonomi terbesar kelima dunia dan diperkirakan naik ke posisi ketiga pada 2030.
Untuk diketahui, India menyumbang 11% permintaan global minyak nabati. Konsumsi nasional sekitar 26,5 juta ton, dengan minyak sawit berkontribusi 37%. Impor sawit India mencapai 8,25 juta ton, atau 50% dari total impor minyak nabati.

Pada 2047, konsumsi minyak nabati diprediksi mencapai 50 juta ton, dengan konsumsi sawit bisa naik menjadi 19 juta ton.
“Pertanyaannya sederhana tetapi krusial: dari mana minyak sebanyak itu akan dipenuhi?” tegas Chaturvedi.
India beberapa kali melakukan penyesuaian tarif impor untuk mengontrol harga konsumen dan menjaga margin petani. Namun Chaturvedi menilai strategi tarif bukan solusi jangka panjang.
“Tarif tinggi ibarat ular yang memakan ekornya sendiri. Alih-alih menekan eksportir luar negeri, yang terbebani justru konsumen domestik. Harga naik, daya beli turun, dan industri ikut terpukul,” pungkasnya.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *