
sawitsetara.co - JAKARTA – Di wilayah Kecamatan Bukit Santuai, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, para petani kelapa sawit tengah menghadapi masa sulit. Harga tandan buah segar (TBS) terus menurun dari Rp2.930 per kilogram pada periode 28 September 2025 menjadi hanya Rp2.470 per kilogram pada 1 November 2025. Sementara itu, biaya kebutuhan hidup dan harga pokok justru terus meningkat, membuat para petani semakin terjepit.
“Salah satu penyebab yang paling dirasakan adalah karena pabrik pengolahan di wilayah tersebut hanya satu, yakni Pabrik Bukit Santuai Makmur milik PT. Agro Wana Lestari. Dengan keterbatasan pilihan ini, posisi tawar petani menjadi sangat lemah. Akibatnya, mereka tidak memiliki banyak opsi selain menjual sawit dengan harga yang tidak sepadan dengan biaya produksi,” ungkap Rifaldo, Mahasiswa Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan, dalam keterangan tertulis yang dikirimkan ke sawitsetara.co, Kamis (13/11/2025).

Kini, lanjut Rifaldo, sejumlah petani mendorong para pengepul agar mulai menjual hasil panen ke pabrik lain di luar wilayah, seperti PMKS. Sawit Mas Parenggean, Jl. Padat Karya Parenggean, yang terletak di Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Hingga kini masih membeli sawit dengan harga lebih tinggi, yakni Rp2.940 per kilogram. Walau jarak menuju pabrik tersebut memakan waktu 3–4 jam perjalanan, secara kalkulasi ekonomi, langkah ini masih lebih menguntungkan dibanding menjual ke PT. Agro Wana Lestari dengan harga yang lebih rendah.
Bagi masyarakat Desa-desa wilayah Kecamatan Bukit Santuai, sawit bukan sekadar komoditas, tetapi sumber penghidupan utama. Jika harga terus menurun, bukan hanya pendapatan petani yang terganggu, melainkan juga aktivitas ekonomi desa secara keseluruhan — mulai dari pedagang, transportasi, hingga usaha kecil yang bergantung pada sirkulasi uang hasil panen sawit. Penurunan ini tentu menjadi pukulan berat bagi para petani sawit yang menggantungkan penghasilan utama dari hasil panen tersebut.

“Melihat kondisi ini, saya sebagai mahasiswa Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan, saya melihat persoalan ini tidak sekadar soal naik turunnya harga, tetapi soal keadilan ekonomi dan keberpihakan pada petani. Ketika satu pabrik menjadi penentu harga di satu wilayah, pemerintah daerah dan lembaga desa tidak boleh hanya diam. Harus ada intervensi dan pengawasan harga yang lebih transparan, agar tidak terjadi monopoli yang menekan petani kecil,” ungkap Rifaldo..
Rifaldo menegaskan, “saya sebagai mahasiswa dan generasi muda, saya berharap isu ini tidak hanya dilihat sebagai masalah ekonomi sesaat, tetapi juga sebagai pengingat pentingnya keadilan dalam rantai industri sawit. Di tengah naiknya harga kebutuhan pokok, sudah selayaknya pemerintah dan perusahaan memberikan kepastian harga yang layak, agar petani di pedesaan seperti di Bukit Santuai tetap dapat hidup sejahtera dan berdaya di tanah sendiri.”.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *