
sawitsetara.co – BOGOR – Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera memicu perdebatan lama di ruang publik mengenai hubungan kelapa sawit dan hutan alam. Namun, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Sudarsono Soedomo menilai perdebatan ini sejak awal dibangun di atas kerangka berpikir yang keliru dan berpotensi menyesatkan publik.
Dalam essai-nya yang dimuat di laman Sawit Indonesia, Kamis (18/12/2025), Prof. Sudarsono, mengatakan bahwa membandingkan kinerja hidrologi kebun sawit dengan hutan alam primer tidak relevan. Hal ini karena mayoritas kebun sawit di Indonesia tidak dibangun dari konversi langsung hutan alam primer.
“Hampir tidak ada kebun sawit yang dibangun melalui konversi langsung hutan alam primer. Sebagian besar berdiri di atas lahan yang sebelumnya berupa semak, belukar, atau hutan sekunder yang sudah terdegradasi,” ujarnya.

Ia menegaskan, jika ingin jujur secara ilmiah, perbandingan seharusnya dilakukan antara kondisi tutupan lahan sebelum dan sesudah sawit dibangun, bukan membandingkannya dengan kondisi ideal hutan alam yang dalam praktiknya jarang ada.
“Karena itu, membandingkan kinerja hidrologi sawit dengan hutan alam bukan hanya tidak relevan, tetapi menyesatkan,” kata Prof. Sudarsono.
Lebih lanjut, Prof. Sudarsono menjelaskan bahwa banyak parameter hidrologi yang kerap dikutip dalam perdebatan publik—seperti koefisien run-off atau kapasitas infiltrasi—umumnya diukur dalam kondisi hujan normal. Padahal, pada hujan ekstrem yang berlangsung lama, semua jenis tutupan lahan akan mengalami kejenuhan tanah.
“Dalam kondisi seperti ini, keunggulan hidrologis berbagai tutupan lahan runtuh secara bersamaan,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa memaksakan model hidrologi normal ke dalam situasi cuaca ekstrem justru mengaburkan akar persoalan. Ketika tanah sudah jenuh, hampir seluruh curah hujan akan berubah menjadi aliran permukaan, baik di kawasan berhutan maupun non-hutan.

Dari sisi tata ruang, Prof. Sudarsono juga menyoroti fakta bahwa kebun sawit umumnya dibangun di dataran rendah, di bawah 400 meter di atas permukaan laut, dengan topografi relatif ringan. Kawasan tersebut, menurutnya, memang diperuntukkan sebagai wilayah budidaya.
“Jika wilayah-wilayah ini tidak dimanfaatkan secara produktif, daya dukungnya terhadap kehidupan manusia akan sangat rendah,” ujarnya.
Ia menambahkan, sawit telah menjadi tulang punggung ekonomi jutaan orang di Indonesia. Tanpa sawit, tekanan sosial dan kemanusiaan berpotensi muncul jauh sebelum bencana banjir bandang terjadi. Karena itu, melihat sawit secara hitam-putih—bersalah atau tidak—dinilai tidak sehat dan menutup ruang analisis yang lebih komprehensif.
“Banjir bandang akibat cuaca ekstrem adalah peristiwa yang jarang, tetapi tidak dapat dielakkan sepenuhnya. Menghadapinya dengan logika ‘sawit bersalah atau tidak’ justru menutup ruang untuk memahami persoalan yang lebih kompleks,” kata Prof. Sudarsono.
Menutup pandangannya, Prof. Sudarsono menegaskan bahwa analisis kritis terhadap bencana tidak boleh terjebak pada emosi sesaat. Ia pun mengajak publik untuk menggeser pertanyaan dari mencari siapa yang salah menjadi mengevaluasi cara berpikir yang keliru agar solusi nyata dapat dirumuskan.
“Bencana ekstrem membutuhkan analisis ekstrem yang proporsional, bukan perbandingan dangkal,” ujarnya.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *