
sawitsetara.co – JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menekankan pentingnya penataan terhadap pabrik kelapa sawit (PKS) yang berdiri tanpa kebun sendiri. Hal ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan kemitraan antara perusahaan dan petani sawit.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, menyatakan bahwa keberadaan PKS tanpa kebun tidak masalah selama dikelola dengan aturan yang jelas. “Kami tidak menolak pabrik sawit tanpa kebun, namun pendirian PKS ini harus ditata agar tidak merugikan perusahaan yang sudah bermitra dengan petani,” kata Eddy dalam laman GAPKI.
Menurut Eddy, jika PKS tanpa kebun dibiarkan menjamur tanpa pengaturan, bisa menimbulkan kerugian. Misalnya, petani yang semula menjadi mitra perusahaan bisa tergiur menjual tandan buah segar (TBS)-nya ke PKS lain yang tidak berizin atau beroperasi secara berondolan. Akibatnya, rendemen TBS perusahaan bermitra menurun karena TBS yang berondol penting untuk penentuan harga. “Sekarang serba susah, karena berondol itu untuk menghitung penetapan harga, tapi kini banyak petani menjual tanpa berondol,” jelasnya.

Eddy juga menyoroti potensi penyalahgunaan terkait pajak ekspor. PKS tanpa kebun ini sering memproses TBS menjadi Palm Oil Mill Effluent (POME) atau limbah cair kelapa sawit, yang kemudian diekspor. Pajak ekspor POME jauh lebih rendah dibandingkan CPO (crude palm oil).
“Dulu ekspor POME hanya 200 ribu ton/tahun, kini naik hampir 2 juta ton. Setelah diselidiki, ada indikasi permainan di sana,” tambahnya. Ia menjelaskan, pungutan ekspor POME hanya 5 dolar AS per ton, jauh lebih rendah dibanding CPO yang hampir 150 dolar AS per ton. POME ini biasanya digunakan sebagai bahan baku energi.
GAPKI berharap, sebelum izin PKS tanpa kebun diberikan, pemerintah perlu memastikan kebutuhan lapangan dan keberadaan pabrik bermitra yang sudah ada. Jika tidak ada kebutuhan tambahan, sebaiknya izin baru tidak dikeluarkan untuk mencegah kerugian bagi mitra perusahaan.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *