sawitsetara.co – JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendorong pemerintah untuk memperjuangkan tarif ekspor sawit sebesar 0 persen ke Amerika Serikat (AS). Langkah ini dianggap krusial untuk meningkatkan daya saing sawit Indonesia di pasar global.
GAPKI optimis bahwa peluang untuk mengembalikan tarif ekspor sawit menjadi nol persen masih terbuka lebar. Hal ini didasarkan pada pengalaman sebelumnya ketika AS pernah menerapkan kebijakan serupa saat hubungan perdagangan kedua negara berjalan baik.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, mengungkapkan bahwa Indonesia pernah menikmati tarif nol persen di pasar Amerika Serikat. “Dulu memang 0 persen. Indonesia punya pangsa pasar sawit sekitar 89,9 persen. Amerika tidak bisa memproduksi sawit sendiri, jadi mereka tetap membutuhkan kita,” ujarnya, dilansir dari laman Gapki pada Rabu (5/11/2025).

Eddy menjelaskan bahwa dalam negosiasi, Indonesia perlu mengedepankan prinsip timbal balik. Strategi ini penting untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang saling menguntungkan.
“Kita bisa manfaatkan komoditas lain, misalnya impor kedelai dari AS atau pembelian pesawat Boeing. Dengan cara ini, kesepakatan tarif 0 persen jadi lebih realistis,” kata dia.
Menurut Eddy, posisi Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia adalah modal kuat dalam diplomasi ekonomi. Namun, negosiasi harus dilakukan dengan perhitungan strategis dan kalkulasi ekonomi yang matang.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menginformasikan bahwa pembahasan mengenai tarif sawit akan dimulai pada November 2025 setelah pertemuan APEC. Pemerintah menargetkan tarif 0 persen tidak hanya untuk sawit, tetapi juga kakao dan karet.
Namun, Ekonom Bidang Pertanian CORE Indonesia, Eliza Mardian, mengingatkan bahwa menurunkan tarif ekspor hingga nol persen bukanlah hal yang mudah. Ia menekankan bahwa setiap negosiasi perdagangan memiliki risiko dan konsekuensi yang perlu diperhitungkan.
“Pengalaman menurunkan tarif resiprokal dari 32 persen ke 19 persen saja sudah penuh kompromi. Untuk mencapai 0 persen, pasti ada konsekuensi atau trade-off yang harus diperhitungkan,” ujarnya.

Eliza juga menyarankan agar Indonesia lebih fokus memperkuat ekspor ke pasar potensial lain yang memiliki pertumbuhan lebih stabil dan prospek jangka panjang.
“Lebih baik fokus memperkuat pasar potensial lain ketimbang memaksakan 0 persen di AS. Semua keputusan harus berbasis data dan memastikan tidak ada sektor domestik yang dikorbankan,” kata dia.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *