
sawitsetara.co - JAKARTA - Kabar besar datang dari industri kelapa sawit nasional. China, salah satu negara dengan emisi karbon terbesar di dunia, dikabarkan tengah bersiap menanamkan investasi raksasa di sektor sawit Indonesia melalui skema pembelian karbon dan pengembangan teknologi pengolahan sawit.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) sekaligus Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengungkapkan bahwa minat China bukan main-main. Negeri Tirai Bambu itu disebut siap membeli emisi karbon Indonesia sekaligus membantu pendanaan untuk koperasi petani dan pembangunan mesin pengolahan sawit modern.
“China sudah berkeinginan membeli emisi karbon di Indonesia, karena mereka kan penghasil karbon tertinggi saat ini,” ujar Sahat dalam Workshop Jurnalis Promosi UKM Sawit, Kamis (23/10/2025).
Sahat menjelaskan, potensi dana dari penjualan karbon tersebut akan disalurkan untuk memperkuat struktur ekonomi petani sawit melalui pengembangan koperasi dan modernisasi permesinan.
“Mari kita kembangkan koperasi secepatnya. Kita cari dana dengan menjual karbon untuk mendanai pengembangan koperasi dan mesin,” lanjutnya.
Tak hanya itu, China bahkan dikabarkan siap membantu program replanting (penanaman kembali) sawit rakyat selama enam tahun ke depan, dengan nilai investasi mencapai Rp 171,2 triliun.
“Saya siap membawa China untuk membantu petani kita. Untuk replanting saja, saya butuh enam tahun dengan estimasi Rp 171,2 triliun,” tegas Sahat.
Ketertarikan China terhadap industri sawit Indonesia sejatinya sudah muncul sejak Mei lalu. Dalam tahap awal, mereka disebut siap menggelontorkan investasi US$ 9 miliar atau sekitar Rp 148,6 triliun untuk pengadaan mesin-mesin pengolahan sawit berteknologi tinggi.
Sebagai timbal balik, China meminta hak membeli emisi karbon serta 35% dari hasil produksi sawit model baru bernutrisi tinggi. Rencana investasi ini akan dijalankan selama tujuh tahun, dimulai pada 2026.
“Kami saat ini tengah dalam proses penjajakan dengan pihak China. Dana itu akan difokuskan untuk pembangunan mesin-mesin tandan buah segar (TBS), sehingga petani bisa menikmati nilai tambah tidak hanya dari produksi, tetapi juga dari penjualan emisi karbon,” jelas Sahat.
Optimisme pelaku industri semakin tinggi setelah Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional.
Perpres dengan 103 pasal ini ditetapkan pada 10 Oktober 2025, menjadi dasar hukum bagi perdagangan karbon dan investasi hijau di Indonesia.
Dengan terbukanya peluang besar investasi hijau dari China, industri sawit Indonesia dinilai tengah memasuki babak baru: dari sekadar komoditas ekspor, menjadi penggerak ekonomi berkelanjutan.
Kolaborasi ini diharapkan tidak hanya memperkuat daya saing industri sawit nasional, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan jutaan petani sawit rakyat melalui akses teknologi dan pendanaan hijau.
“Kalau semua berjalan sesuai rencana, sawit kita bukan hanya menghasilkan minyak, tapi juga menghasilkan nilai ekonomi karbon yang besar bagi negara,” tutup Sahat penuh optimisme.


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *