KONSULTASI
Logo

Berat Punggung Petani Sawit di Pinggiran Sungai Kampar

1 Oktober 2025
AuthorHendrik Khoirul
EditorDwi Fatimah
Berat Punggung Petani Sawit di Pinggiran Sungai Kampar

sawitsetara.co – PEKANBARU – Di Desa Buluh Nipis, Kabupaten Kampar, kehidupan berputar di sekitar perkebunan sawit. Namun, di balik luasnya perkebunan, tersembunyi perjuangan petani yang tak kenal lelah. Transportasi sungai menjadi kunci utama dalam mengangkut hasil panen, tetapi tantangan datang silih berganti.

Seperti dilansir dari laman rri.co.id, Sungai Kampar, meski menjadi jalur vital, menyimpan sejumlah kendala. Arus deras, kedalaman yang berubah-ubah, dan cuaca yang tak menentu menjadi ujian bagi para petani.

“Kendala yang dihadapi Petani diantaranya dalam segi mengangkut sawit dengan perahu membutuhkan biaya tambahan, mulai dari bahan bakar hingga sewa tenaga angkut,” ujar Puri, seorang warga setempat.

Kerusakan hasil panen akibat penundaan pengangkutan juga menjadi ancaman serius. Karenanya, setiap panen adalah maraton bagi petani.


Dimulai dari memanen di kebun yang jauh, mengangkut dengan gerobak sederhana ke tepian sungai, hingga memuat sawit ke perahu yang penuh sesak. Perjalanan belum berakhir karena sawit harus dibawa ke pengepul atau pabrik yang jaraknya bisa berjam-jam melalui sungai.

Masyarakat Buluh Nipis bermimpi memiliki akses jalan darat yang lebih baik. Infrastruktur yang memadai diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada sungai dan mempercepat distribusi hasil panen, sehingga meningkatkan kesejahteraan petani.

Realita di balik perkebunan sawit adalah cerita panjang perjuangan petani kecil yang berjuang dengan keterbatasan transportasi sungai. Pada Mei lalu, rri.co.id juga melaporkan bagaimana perjuangan petani sawit di pinggiran sungai Kampar.

Petani kerap mengandalkan jalur air untuk mengangkut hasil panen ke pelabuhan bongkar muat, yang tentunya memerlukan biaya tambahan dan waktu lebih lama. Kondisi jalan yang berlumpur saat musim hujan kian memperburuk akses distribusi.


Belum lagi kebun sawit yang berada terlalu dekat dengan sungai rawan terkena banjir musiman. Selain merusak tanaman, banjir juga mempercepat erosi tanah di sekitar lahan, yang dalam jangka panjang bisa menyebabkan kehilangan lahan produktif. Apalagi perubahan iklim membuat musim hujan sulit diprediksi, meningkatkan risiko kerusakan.

Banyak petani sawit di kawasan ini masih mengandalkan cara tanam tradisional. Minimnya akses terhadap penyuluhan pertanian dan teknologi modern membuat produktivitas kebun rendah. Tanpa pengetahuan tentang pemupukan berimbang atau peremajaan tanaman, hasil panen cenderung stagnan atau menurun.

Diperlukan sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga masyarakat untuk memberikan dukungan nyata baik dalam bentuk infrastruktur, pendampingan teknis, maupun kepastian hukum. Hanya dengan pendekatan yang menyeluruh, petani sawit di kawasan ini dapat berkembang secara berkelanjutan tanpa merusak ekosistem sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Tags:

sawit riausawit

Berita Sebelumnya
Harga TBS Kelapa Sawit di Aceh Stabil Meski Ada Sedikit Penurunan

Harga TBS Kelapa Sawit di Aceh Stabil Meski Ada Sedikit Penurunan

Dinas Perkebunan Aceh telah mengumumkan hasil rapat penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit.

30 September 2025 | Harga TBS

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *