KONSULTASI
Logo

Banjir Dibaca Secara Emosional: Guru Besar IPB Kritik Miskonsepsi Publik soal Hujan Ekstrem

3 Desember 2025
AuthorHendrik Khoirul
EditorDwi Fatimah
Banjir Dibaca Secara Emosional: Guru Besar IPB Kritik Miskonsepsi Publik soal Hujan Ekstrem
HOT NEWS

sawitsetara.co – BOGOR — Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Sudarsono Soedomo, menegaskan bahwa narasi publik tentang penyebab banjir besar di Indonesia selama ini lebih banyak dibentuk oleh emosi ketimbang analisis hidrologis yang berbasis data.

“Setiap kali banjir terjadi, masyarakat cenderung melemparkan tudingan moral dan menyalahkan kondisi hulu—tanpa terlebih dahulu melihat variabel kunci: intensitas curah hujan ekstrem,” kata Prof. Sudarsono dalam keterangan tertulis pada Rabu (3/12/2025), seperti dikutip Majalah Sawit Indonesia.

Prof. Sudarsono menilai bahwa penjelasan-penjelasan populer sering kali mengabaikan fakta ilmiah. Narasi yang sama selalu diulang. Hutan gundul, Daerah Aliran Sungai (DAS) rusak, manusia serakah. Semuanya diulang tanpa diperiksa ulang, dan akhirnya menjadi dogma.

Ia menilai, penjelasan emosional tersebut justru menutupi faktor utama yang memicu sebagian besar banjir ekstrem: kejadian hujan dengan intensitas tinggi dan durasi panjang yang tidak terjadi setiap tahun dan memiliki periode ulang (return period) tertentu.

Sawit Setara Default Ad Banner

Narasi ‘Hutan Gundul’ Menjadi Dogma Baru

Menurut Prof. Sudarsono, ketika banjir besar terjadi, publik langsung memproduksi narasi yang itu-itu saja: hulu rusak, hutan gundul, pembukaan lahan, hingga hukuman Tuhan akibat keserakahan manusia. Ia menilai pola ini bukan hanya reduktif, tetapi juga tidak adil karena sering kali tidak mengarah pada solusi.

“Begitu banjir melanda, narasi itu menjadi peluru retoris pertama. Bahkan ketika ditanya mengapa yang terkena justru masyarakat biasa, bukan pelaku perusakan yang disebut-sebut itu, penjelasannya tidak pernah tuntas,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa perdebatan publik yang menekankan moralitas justru menjauh dari analisis ilmiah yang diperlukan untuk memahami banjir ekstrem.

Kasus Garut: Contoh Ketika Narasi Tak Sinkron dengan Data

Prof. Sudarsono menyoroti kasus banjir bandang di Garut beberapa tahun lalu sebagai bukti kuat bagaimana persepsi publik sering bertentangan dengan fakta. Setelah banjir bandang terjadi, narasi besar soal kerusakan hulu langsung mengemuka.

“Sejumlah komunitas kehutanan pun menggelar kegiatan simbolik berupa penanaman beberapa bibit pohon sebagai bentuk pemulihan,” kata dia.

Namun, setelah dianalisis lebih jauh, fakta hidrologis menunjukkan tiga hal penting: tidak ada banjir bandang serupa setelah kejadian itu, hingga hari ini; kondisi tutupan hulu tidak banyak berubah, tetap sama seperti saat peristiwa terjadi; bibit pohon hasil seremoni kemungkinan tidak tumbuh atau tidak berkontribusi signifikan.

Sawit Setara Default Ad Banner

Yang berubah, kata Sudarsono, hanyalah intensitas hujan. “Faktanya, bukan hulunya yang berubah, tetapi curah hujannya. Ketika intensitas kembali normal, banjir tidak terjadi lagi. Ini menunjukkan bahwa penjelasan ‘hulu rusak’ tidak selalu relevan,” tegasnya.

Contoh di Garut, menurutnya, menjadi bukti jelas bahwa dalam kasus banjir ekstrem, kondisi hidrometeorologis jauh lebih menentukan daripada perubahan tutupan lahan.

Peran Hutan Ada Batasnya

Prof. Sudarsono menilai penting untuk menempatkan fungsi hutan secara proporsional. Hutan memang berperan meresap dan menahan air—tetapi hanya dalam kondisi curah hujan moderat. Ketika hujan ekstrem melampaui kapasitas infiltrasi tanah, seluruh sistem hidrologi akan mencapai titik jenuh.

“Bahkan hutan yang paling rapat sekalipun tidak mampu menahan limpasan air ketika hujannya ekstrem. Fungsi hutan itu penting, tetapi bukan untuk melawan curah hujan ekstrem,” jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa publik harus membedakan antara banjir biasa yang dipengaruhi perubahan lahan, dan banjir ekstrem yang dikendalikan oleh fenomena cuaca ekstrem.


Berita Sebelumnya
Sektor Sawit Komit Terhadap Lindungi Hak Anak dan Pekerja Perempuan

Sektor Sawit Komit Terhadap Lindungi Hak Anak dan Pekerja Perempuan

Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian, Baginda Siagian, menegaskan bahwa Permentan 33/2025 tentang Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO) menjadi payung hukum baru yang mengikat seluruh perusahaan sawit terkait 5 kriteria dan 36 indikator ketenagakerjaan sebagai syarat sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

2 Desember 2025 | Berita

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *