sawitsetara.co – JAKARTA – Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dr. Gulat Medali Emas Manurung, MP., C.IMA., C.APO, menegaskan bahwa program biodiesel 50% (B50) atau bauran sawit dengan solar fosil bukanlah tantangan, tetapi sebuah peluang. Namun, yang menjadi pekerjaan rumah adalah ketersediaan minyak sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku.
“Jadi itu yang selalu kami sampaikan, mandatori B50 itu peluang bukan ancaman. Peluang jika sektor hulu bisa kita pacu untuk bisa menyeimbangi sektor hilir, yakni melalui ketersediaan CPO di Indonesia,” kata Dr. Gulat dalam acara Market Review yang disiarkan langsung di IDX Channel, Jumat malam (14/11/2025).
Dr. Gulat menyoroti ketertinggalan Indonesia terkait jumlah produksi CPO dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia. Malaysia, kata dia, luas keseluruhan lahan sawitnya hanya 5,7 juta hingga 6,5 juta hektare namun diproyeksikan mampu menghasilkan 20 juta ton CPO pada 2025.
Sedangkan Indonesia, dengan luas lahan sawit 16,38 juta hektar hanya mampu menghasilkan 46 jutaan ton CPO per tahun. Padahal luas lahan sawit di Indonesia hampir tiga kali lebih luas dibandingkan Malaysia. Jika produksi Indonesia bisa ditingkatkan melalui beberapa pendekatan, CPO Indonesia bisa menyentuh kisaran 80 juta ton dalam 5 tahun kedepan.

“Luas lahan kita tiga kali lebih luas dari Malaysia, tetapi produksi CPO-nya hanya cuma beda setengah, artinya masalah produktivitas” kata Dr. Gulat.
Bila dipilah lagi, ternyata masalah produktivitas itu 85% berada di perkebunan sawit rakyat. Menurut Dr. Gulat masalah ini bisa diatasi dengan penanaman ulang atau replanting lewat program peremajaan sawit rakyat (PSR) atau PSR Mandiri. Setelah PSR, kata dia, rendemen meningkat dari 1,7-2 menjadi 5-8 ton CPO/Ha/tahun dan ini bukan omon-omon, contoh sudah ada di 388 ribu hektar yang sudah melaksanakan PSR sejak 2017 dengan menggunakan dana BPDP-KS dimana dana tersebut bukan dari APBN, tapi dari dana levy (pungutan ekspor yang dikelola oleh BPDP-KS).
“Tidak ada cara lain untuk meraih peluang ini, hanya dengan PSR dan ‘berdamai’ dengan sebutan kawasan hutan yang sudah tidak berhutan,” ujar Dr. Gulat.
Selanjutnya ia mengatakan, kendati PSR jadi solusi mendongkrak produksi CPO Indonesia tanpa perlu penambahan lahan (ekstensifikasi), sayangnya syarat yang ditetapkan oleh pemerintah melalui dirjend perkebunan terlampau sulit dan saya pikir sudah saatnya dirjendbun move on dengan rentetan persyaratan yang beranak-cucu, ujarnya.
Tapi entah kenapa persyaratan yang dibuat susah sekali. Padahal permasalahan rendahnya produksi CPO kita itu hanya di sektor hulu, tegasnya.

“Bila kita sepakat akan tantangan tersebut dan Strategi meraih peluang, maka kami Petani Sawit usulkan segera dirikan Badan Otoritas Sawit (BoSI) yang langsung dibawah Presiden, sehingga tidak seperti sekarang ada 37 Kementerian dan Lembaga yang kroyokan urusi sawit, akibatnya ya seperti sekarang ini”, tutur Dr. Gulat.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *