
sawitsetara.co – JAKARTA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) turut menjadi pembicara dalam Dialog Strategis bertajuk “Bridging Global Standards and Local Realities: Empowering Indonesian Smallholders for Food Security and Global Inclusion” pada Jumat (12/12/2025).
Agenda tajaan Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi dan Kerja Sama Pembangunan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) berlangsung di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat.
Adapun APKASINDO diwakili Head of International Relation and People Development DPP APKASINDO Dr. (cn) Djono A. Burhan, S.Kom, MMgt (Int. Bus), CC, CL. Agenda ini juga dihadiri Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arif Havas Oegroseno dan Direktur Perdagangan Internasional Kemenlu Dr. Ditya Agung Nurdianto.
Dalam sambutannya, Wamenlu menyampaikan bahwa Indonesia terus berupaya mengimplementasikan standar keberlanjutan demi memajukan industri kelapa sawit. Kendati banyak tantangan dalam implementasinya, tetapi kita harus tetap optimis.
Dubes Arif mengungkapkan saat ini Indonesia masih bisa bernapas lega karena Uni Eropa masih menunda penerapan regulasi EUDR. Penundaan ini dilakukan setelah Uni Eropa juga mendapatkan desakan dari internal, termasuk diantaranya dari industri kendaraan. Sebagai informasi, regulasi keberlanjutan EUDR juga mengatur terkait peternakan.
Dengan adanya aturan EUDR, negara-negara di Eropa menolak hasil peternakan yang tidak lolos sertifikasi keberlanjutan. Di sisi lain, industri kendaraan yang membutuhkan bahan baku dari peternakan, kulit sapi untuk jok misalnya, akan kelimpungan dengan adanya aturan itu lantaran susah mendapatkan pasokan dan menaikkan harga bahan baku.

Sementara itu, Ditya Agung Nurdianto selaku Direktur Perdagangan Internasional Kemenlu menyampaikan kegiatan ini sebagai upaya untuk menyamakan persepsi tantangan yang dihadapi oleh petani kelapa sawit dan juga petani kakao dalam memenuhi standar keberanjutan internasional seperti EUDR.
“Agenda ini diharapkan dapat menjadi informasi strategis untuk Kementerian Luar Negeri dalam menyampaikan kepada negara-negara mitra tentang upaya-upaya keberanjutan dan upaya inklusivitas bagi petani” katanya.
Adapun Djono, mewakili APKASINDO dalam paparannya mengatakan bahwa kelapa sawit merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat. Terkhusus bagi 17,5 juta petani sawit dan keluarganya di seluruh Indonesia dan ini bukan hal sepele secara nasional.
Namun, menurut Djono, ada banyak tantangan untuk mendapatkan sertifikasi tersebut, apalagi di tengah isu negatif yang menyerang kelapa sawit belakangan yang bukan hanya berasal dari luar negeri, tapi issu domestik tidak kalah serangannya.
Issu yang sudah menjadi perhatian dunia adalah penyitaan kebun sawit rakyat oleh Satgas PKH atas nama negara yang di klaim Kemenhut dalam kawasan hutan.
“Issu ini sudah menjadi pembahasan serius diberbagai pertemuan internasional terkait sawit dan tentu issu ini sangat disukai produsen minyak nabati lainnya terkhusus sesama produsen minyak sawit, itu faktanya,” ulas Djono.
Bagi kami petani sawit tantangan utama sawit Indonesia adalah.klaim kawasan hutan yang tidak prosedural dan ini justru antagonis dengan apa yang kita bicarakan pada saat ini, ujar Djono lagi.

“Habis energi kita bertengkar dengan klaim-klaim kawasan hutan yang sebenarnya sudah clear dengan lahirnya UUCK, tapi kita mengabaikannya dan justru membuat aturan baru yang semakin menjauhkan sawit Indonesia berkelanjutan,” urai Djono.
Korban dari kebijakan klaim kawasan hutan yang tidak prosedural tersebut adalah petani sawit dengan segala keterbatasan kami, ujarnya.
Kendati telah memiliki SHM (Sertifikat Hak Milik) maupun SKGR (Surat Keterangan Ganti Rugi), yang sudah puluhan tahun dikelola untuk ekonomi keluarga, tapi Kemenhut tetap menunjuk sebagai kawasan hutan. Buntutnya, sertifikasi keberlanjutan susah diwujudkan karena diluar kawasan hutan merupakan syarat mutlak
“Akan tetapi, dengan semua tantangan itu, bukan berarti kami petani kelapa sawit enggan untuk mendukung dan terlibat dalam kelapa sawit yang berkelanjutan, sesuai arahan bapak ketua umum, Dr. Gulat ME Manurung, meskipun terdapat banyak tantangan dalam mendapatkan legitimasi keberlanjutan melalui sertifikasi, tetapi kita harus terus menerapkan Good Agricultural Practices (GAP).
“Dari penelitian DPP APKASINDO (2021) diketahui bahwa tiga dimensi keberlanjutan (ekonomi, sosial dan lingkungan), petani sawit hanya tertekan di kawasan hutan (dimensi lingkungan),” ujarnya.
Namun secara umum, petani sawit sebenarnya sudah sangat sustainable karena kami yang paling merasakan 3P dari berkebun kelapa sawit yaitu people, prosperity, and planet,” kata Djono.
Djono berharap pemerintah memberikan dukungan kepada petani sawit untuk mendapatkan sertifikasi keberlanjutan melalui integrasi kebijakan dan kami sudah menghasilkan kajian tentang urgensi dibentuknya Badan Kelapa Sawit Nasional (BKSN). Di BKSN ini semua akan terintegrasi seperti urusan sertifikasi ISPO.
“Kita berpacu dengan waktu sebelum semuanya terlambat, BKSN adalah masa depan sawit Indonesia,” tutup Djono disesi diskusi.
Tags:



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *