
sawitsetara.co – YOGYAKARTA – Setelah bertahun-tahun berjalan, KAINSTIPER (Keluarga Alumni Instiper) mulai merajut ulang kebersamaan dan memanggil kembali alumninya yang tersebar di berbagai perusahaan perkebunan, pertanian, dan kehutanan di seluruh Indonesia, termasuk perkebunan kelapa sawit.
Dari panggung sederhana di Yogyakarta itulah muncul kembali gagasan lama yang selama ini menunggu untuk ditegakkan: organisasi alumni yang solid, terhubung, dan diakui sebagai kekuatan strategis dalam sektor agrikultur nasional. Para alumni siap membangun sektor perkebunan, pertanian dan kehutanan, termasuk sektor kelapa sawit yang saat ini menjadi penopang ekonomi nasional dan pendongkran ekonomi masyarakat.
Para alumni datang dari generasi berbeda, dari lulusan era 70-an hingga para alumni muda yang baru menapaki awal karier. Sebagian membawa produk usaha, sebagian lain memamerkan hasil penelitian atau pengalaman profesional mereka. Namun di balik suasana reuni dan saling menyapa, ada percakapan yang lebih serius: bagaimana menghimpun potensi besar ini agar tak lagi tercecer.
Ketua Umum PP KAINSTIPER, Johan Sukardi, berulang kali mengingatkan bahwa konsolidasi potensi alumni bukan sekadar jargon. Ini adalah syarat untuk memperkuat eksistensi organisasi dan memastikan kontribusi alumni dapat dirasakan lebih luas. Pesannya disambut dengan anggukan panjang, seolah seluruh ruangan memahami bahwa momentum ini tidak boleh berlalu sia-sia.

Selama ini, jejaring alumni Instiper berjalan seperti aliran sungai yang tidak pernah bertemu di satu muara. Ada yang bekerja di perusahaan perkebunan raksasa, ada yang bergerak di dunia riset, ada yang merintis usaha agritech, dan tidak sedikit yang terlibat dalam konservasi dan kehutanan. Potensi besar itu berjalan sendiri-sendiri, tanpa satu wadah yang benar-benar kokoh.
Organisasi alumni memang aktif sejak 2015, tetapi konsolidasi 23 pengurus daerah masih membutuhkan dorongan besar agar bisa bergerak serempak. Di usia ke-57 ini, KAINSTIPER mencoba mengubah itu semua—membangun rumah bersama yang lebih tertata dan berdaya guna.
Johan menyinggung hal yang sering terjadi dalam organisasi alumni: banyak yang ingin bergabung tetapi merasa belum pantas atau masih malu karena merasa belum “sukses”. Padahal, kata Johan, organisasi alumni bukan panggung prestise, melainkan ruang kebersamaan. Ia berharap seluruh pengurus daerah dapat bersiap menuju Musda, dan selanjutnya membawa semangat itu ke Munas. Konsolidasi, bagi Johan, adalah kerja panjang yang dimulai dari satu hal sederhana: hadir.

Suasana kebersamaan itu sempat berubah hening ketika isu bencana hidrologi disampaikan. Purwadi, salah satu pengurus, mengingatkan bahwa banyak alumni dan keluarga mereka terdampak bencana di berbagai wilayah. Ia menyerukan agar alumni bersatu tidak hanya dalam perayaan, tetapi juga dalam solidaritas. Donasi, kata Purwadi, harus segera digerakkan. Tidak hanya untuk alumni, tetapi juga untuk mahasiswa Instiper—terutama yang berasal dari Sumatra Utara—yang turut merasakan dampaknya. Bagi Purwadi, bantuan kepada mahasiswa tidak boleh bersifat insidental. Mereka adalah adik-adik dalam keluarga besar Instiper, dan ketika mereka kesulitan, alumni wajib hadir untuk membantu.
Pada sisi akademik, Rektor Instiper, Harsawardana, menyampaikan persoalan yang lebih struktural. Ia menekankan bahwa keberhasilan kampus tercermin dari alumninya. Namun hingga kini, Instiper masih berkutat dengan satu masalah klasik: basis data alumni yang tidak terintegrasi. Kampus tengah mengembangkan sistem digital untuk memetakan alumni—di mana mereka bekerja, kontribusi apa yang mereka berikan, dan bagaimana jejaring mereka dapat dihubungkan dengan mahasiswa. Namun prosesnya belum rampung. Untuk perguruan tinggi yang alumninya tersebar di berbagai perusahaan besar, data yang tercecer berarti kehilangan peluang besar dalam membangun jaringan profesional yang kuat.



Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *