sawitsetara.co – JAKARTA – Dalam Menyikapi rencana Kementerian ATR/BPN, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS (Partai Keadialan Sejahtera), Ateng Sutisna merespon rencana Wamen ATR/Waka BPN, Ossy Dermawan yang akan melakukan legalitas tanah perkebunan sawit, bila lahan itu tidak termasuk kawasan hutan. Dalam mewujudkan hal ini maka maka berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan.
“Namun saya mengingatkan kembali bagi pelaku perkebunan sawit yang sudah terlanjur berada di dalam kawasan hutan, meminta segera untuk melakukan proses alih fungsi lahan kawasan hutan mengikuti prosedur yang berlaku,” ungkap Ateng.
Untuk itu, Ateng menegaskan kembali yang pertama pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN perlu menyegerakan inventarisasi dan identifikasi potensi tumpang tindih atas HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan, serta melibatkan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah setempat
“Tumpang tindih lahan HGU perkebunan kelapa sawit dan kawasan hutan di Indonesia merupakan persoalan laten yang tak kunjung usai,” jelas Anggota DPR RI dari Dapil Jawa Barat VII ini.
Menurut catatan Ombudsman RI terdapat 3.222.350 hektar lahan perkebunan kelapa sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Total luasan ini melibatkan 3.235 subjek hukum, terdiri dari 2.172 perusahaan dan 1.063 koperasi atau kelompok tani.
“Sedangkan menurut sumber lain, terdapat 3,5 juta hektar lahan sawit yang teridentifikasi masuk dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia, dengan 2,87 juta hektar milik 2.389 perusahaan dan 622.000 hektar milik 1.367 petani sawit,” papar Ateng.
Dari total tumpang tindih, kata Ateng hanya 199 subjek hukum atau sekitar 7% yang telah diselesaikan melalui mekanisme Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja, sementara 3.036 subjek hukum atau 93,84% masih belum terselesaikan
“Capaian pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) sangat rendah, hanya 1,54% dari total pekebun sawit rakyat,” pungkasnya.
Status lahan yang tidak jelas ini, kata Ateng, mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi petani dan perusahaan, yang pada gilirannya menghambat pelaksanaan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Menurut hemat saya, Kementerian ATR/BPN setidaknya segera melakukan berbagai hal diantaranya bersama dengan Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah setempat melakukan inventarisasi, identifikasi dan verifikasi data mengenai lahan yang tumpang tindih tersebut, guna memperoleh informasi yang akurat mengenai luas dan status lahan terkini,” papar Ateng.
Kementerian ATR/BPN, lanjut Ateng, perlu melakukan afirmasi dan pengakuan terhadap hak atas tanah (HAT) yang telah nyata-nyata untuk sah diterbitkan. Hal ini termasuk mengeluarkan legalitas (sertifikat) untuk lahan yang telah memiliki bukti-bukti kepemilikan yang jelas;
“Mempercepat proses perizinan terkait HGU perkebunan kelapa sawit dan memastikan bahwa semua dokumen perizinan, seperti Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), dapat diproses dengan cepat dan transparan,” urainya.
Menggunakan mekanisme hukum yang ada, imbuhnya, seperti Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja, untuk menyelesaikan konflik lahan secara adil dan transparan.
“Meningkatkan koordinasi dengan kementerian lain, terutama Kementerian Kehutanan, untuk menyelaraskan kebijakan dan tindakan terkait pengelolaan lahan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam penerbitan regulasi ke depannya,” jelas Ateng.
Tumpang tindih HGU perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan, tambah Ateng, merupakan masalah serius di Indonesia yang memerlukan perhatian segera dari Pemerintah. sumber: okezone.com