sawitsetara.co – JAKARTA – Benar bahwa saat ini permintaan akan crude palm oil (CPO) dan turunannya terus meningkat baik didalam dan luar negeri. Menanggapi tingginya perminaan maka harus ada peniingkatan produksi salah satunya yakni dengan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), karena dengan PSR maka tanaman lama yang berproduktivitas rendah bisa menjadi produktivittas tinggi dengan menggunakan bibit unggul bersertifikat.
“Jadi kunci untuk meningkattkan produksi nasional yakni dengan PSR, sebab dengan PSR maka produksi lahan petani akan meningktat,” ungkap Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono.
Lebih lanjut, Eddy mengatakan, saat ini kebun petani baik plasma maupun swadaya telah menjadi bagian penting bagi industri sawit Indonesia. Besaran kebun petani sawit yang mencapai 42% kini telah memasuki masa peremajaan dengan rata-rata usia tanaman diatas 25 tahun.
GAPKI pun menyatakan komitmennya untuk mendorong petani untuk melaksanakan PSR baik petani plasma yang bermitra dengan perusahaan anggota GAPKI juga petani mandiri atau swadaya yang lokasi kebunnya berada di sekitar anggota GAPKI.
Menurut Eddy, petani Indonesia teah menjadi mitra GAPKI seharusnya sudah clean and clear memenuhi persayaratan PSR, Namun ternyata masih harus bergelut dengan berbagai permasalahan, terutama terkait dengan legalitas lahan.
“Terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU), adanya lahan yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan padahal telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dan sudah pernah menjadi agunan di bank hingga kendala dari petaninya sendiri dimana banyak yang enggan melakukan replanting dengan alasan harga tandan buah segar (TBS) yang masih tinggi,” ungkap Eddy.
Menurut Eddy, petani kelapa sawit Indonesia memerlukan pendampingan yang sangat serius dari pemerintah dan juga perusahaan-perusahaan swasta agar percepatan program PSR bisa terimplementasi dengan cepat.
“Kami sangat mengapresiasi lahirnya Perpres nomor 3 Tahun 2022 yang membuka peluang kami (pengusaha) untuk melakukan pendampingan kepada para petani binaan dalam program PSR kemitraan,” ucap Eddy.
Sebagaimana kita ketahui, PSR merupakan program pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) untuk meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat, dengan mengganti tanaman tua atau berproduktivitas rendah dengan bibit baru yang berproduktivitas tinggi.
Petani: Kegagalan PSR Hanya Satu Obatnya PSN
Terkait dengan PSR, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo), Dr. Gulat Manurung, C.IMA mengungkapkan PSR itu jangan pernah diharapkan berhasil targetnya kalau PSR tidak dimasukan program PSN (Program Strategiis Nasional) karena dengan berbagai hambatan saat ini, terkiait ke persyaratan PSR, hanya PSN lah obatnya.
Kendala itu yang paling utama adalah klaim masalah kawasan hutan yang tidak sesuai dengan sebagaimana diatur dalam UU pokok kehutanan nomor 41 tahun 1999.
PSR itu bukan hanya terkait ke produktivitas tetapi PSR itu adalah terhubung kuat ke nasionalis Indonesia sebagai bangsa dan merupakan cara Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan.
“Sawit telah menyelematkan hutan, karena dengan sawit maka kebutuhan minyak nabati dunia dari Indonesia dapat terpenuhi. Jika sawit tidak ada makan siap-siaplah hutan akan dibabat melalui budidaya tanaman penghasil minyak nabati lainnya yang membutuhkan lahan 4-10 kali lipat dari perkebunan sawit saat ini,” terang Gulat.
Indonesia seharusnya merupakan penentu kebijakan lingkungan dunia karena berhasil menjaga kelestarian lingkungan melalui sawit, bukan menjadi penurut atas kebijakan negara pesaing sawit yang selama ini menjadi panutan dengan istilah seertifikasi dan bentuk lainnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) Indonesia, Setiyono mengakui beberapa kendala yang menyebabkan rendahnya realiasisasi PSR. Salah satu yang menjadi kendala yaitu harga TBS yang tinggi dan tidak adanya income ketika tanaman ditumbang menjadi kekhawatiran petani. Ini yang menjadi penyebab petani sawit menunda kebunnya untuk diremajakan. “Kami berharap hingga akhir 2025, sudah bisa memenuhi target 120 ribu hekttar (ha),” harap Setiyono.
Namun, untuk kehilangan pendapatan ketika tanaman kelapa sawit ditumbangkan, kata Setiyono dari pemerintah juga sudah memberikan solusi untuk tumpang sari, menanam tanaman sela seperti jagung atau padi Gogo.
Setiyono juga menyinggung pentingnya pemetaan wilayah PSR. Ia menganalogikan kondisi saat ini seperti telur dan ayam, tidak jelas mana yang lebih dahulu, lahan atau bibit.
“PSR itu harus dipetakan, Mana wilayah yang sudah siap, maka bibitnya harus disiapkan, Jangan sampai nanti ibitnya sudah ada tapi lahanyanya belum siap, atau sebaliknya,” jelas Setiyono.
Sementara itu, Direktur Penghimpunan Dana, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), Normansyah Hidayat Syahruddin mengutarakan bahwa program PSR merupakan bagian dari program yang ada di BPDP.
“Bahkan, dana yang tersalurkan untuk program PSR sejak 2016, sekitar Rp10 triliun. Dana untuk program PSR juga ditingkatkan dari Rp25 juta, menjadi Rp30 juta, dan sekarang Rp60 juta. Ini bentuk komitmen pemerintah mendukung peningkatan produktivitas kebun petani rakyat, untuk meningkatkan kesejahteraan,” pungkasnya.