sawitsetara.co – JAKARTA – Peremajaan sawit rakyat (PSR) adalah salah satu program strategis Presiden Jokowi yang sudah diluncurkan sejak tahun 2017 dan keberhasilannya sudah dirasakan oleh petani saat ini.
Perbaikan dan penguatan peraturan yang memayungi operasional dari program PSR ini sudah beberapa kali direvisi, sebagaimana aturan yang terakhir diterbitkan yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03 tahun 2022 (Permentan 03/2022), yang sebagian pasalnya membahas persyaratan PSR.
Konsep yang dirancang dalam permentan tersebut adalah percepatan dan akselerasi, terutama akselerasi dua jalur pengajuan PSR oleh petani sawit; yakni akselerasi jalur disbun dan jalur kemitraan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) di keuanganonline (5/1), Andi Nur Alam Syah, yang mengatakan bahwa, “Terbitnya Permentan 03 tahun 2022 untuk memperlancar dan melindungi petani, bukan untuk memberatkan atau mempersulit petani saat memproses PSR-nya”.
Selanjutnya Dirjenbun menjelaskan bahwa lahirnya Permentan 03/2022 merupakan penyempurnaan dari permentan sebelumnya, yang terbit dari hasil evaluasi dan masukan berbagai pihak antara lain dari aparat penegak hukum, BPK, BPKP, petani, pelaku usaha perkebunan dan berbagai stakeholder perkebunan.
Menanggapi keterangan Dirjen Perkebunan tersebut, tiga asosiasi sawit terbesar di Indonesia memberikan tanggapan kepada sawitsetara.co, antara lain APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), ASPEK-PIR (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Pola Inti Rakyat), dan SAMADE (Sawitku Masa Depanku).
Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP., C.IMA., C.APO, selaku Ketua Umum DPP APKASINDO, sangat mengapresiasi pernyataan Dirjenbun, perihal tujuan program PSR tersebut dengan mengatakan, “Hanya petani sawit yang statis lah yang mengatakan program PSR tersebut tidak bermanfaat”.
Namun dengan realiasi PSR secara nasional di tahun 2022 lalu yang hanya 9,8% dari 180.000 hektar, tentu harus menjadi catatan penting dan evaluasi pihak Kementerian Pertanian dan BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) tentunya.
“Ada apa dengan PSR, dimana kendalanya, apa permasalahannya dan bagaimana resolusinya. BPDPKS juga harus bercermin dan membuat terobosan serta jemput bola,” ujar Gulat.
Faktanya realisasi program PSR ditahun 2022 mencapai titik terendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan tabulasi sekretariat DPP APKASINDO, tercatat usulan PSR tahun 2022 yang mendapatkan rekomtek di tahun yang sama dari Ditjenbun sekitar 17.908 ha (9,8%) dari total target 180.000 ha/tahun.
Bahkan beberapa provinsi gagal atau realisasi nol persen PSR, yakni di 11 dari 22 provinsi APKASINDO, seperti provinsi Riau, Bengkulu, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua Barat, Gorontalo dan Papua.
Ada beberapa penyebab dari rendahnya realisasi PSR ini, antara lain; kekosongan Dirjenbun sejak Mei 2021 sampai Juli 2022 dikarenakan karena Dirjenbun Dr Kasdi Subagyono, M.Sc diangkat menjadi Sekjend Kementan, terbitnya Permentan 03/2022 pada Februari 2022 tapi petunjuk teknisnya atau semacam perdirjendbunnya baru terbit dipertengahan tahun 2022, terjadinya proses up grade dari aplikasi online pendaftaran PSR sehingga sempat offline sampai beberapa bulan, bertambahnya persyaratan PSR di Permentan 03/2022 terutama terkait gambut, lambatnya sosialisasi Permentan 03/2022 kesemua stakeholder sawit, dan terakhir tidak siapnya Ditjen PPKL Kementerian LHK diawal terbitnya Permentan 03/2022 untuk menerbitkan surat rekomendasi terkait bebas gambut.
“Terkait kendala PSR ini, setelah DPP APKASINDO berkonsultasi ke Ketua Dewan Pembina Dr. Moeldoko dan Dewan Pakar Hukum DPP APKASINDO, akhirnya saya mengutus Sekjend DPP APKASINDO, Dr cn Rino Afrino, ST., MM, ke Ditjend PPKL Kementerian LHK, untuk berdiskusi dimana kendalanya sehingga surat rekomendasi bebas gambut ini menjadi kendala utama percepatan PSR. Hasilnya adalah sangat mengejutkan bagi kami petani sawit, karena Direktorat terkait merasa tidak pernah mengusulkan dan diajak diskusi perihal persyaratan bebas dari kawasan lindung gambut sebagaimana disebut dalam surat Dirjenbun Kepada Kepala Dinas yang membidangi Perkebunan se Indonesia, Nomor 1657/PL.030/E.4/10/2022 tentang Surat Keterangan Tidak Berada dalam Kawasan Lindung Gambut,” terang Gulat.
“Dan yang paling fatalnya dari diskusi Rino, pihak terkait yang membidangi gambut mengatakan seharusnya tidak perlu membuat syarat bebas gambut ini berlaku untuk semua daerah karena tidak semua daerah ada gambutnya. Seperti misalnya di Sulawesi Selatan malah petani calon peserta PSR disana sudah 3 bulan menunggu surat bebas gambut dari Ditjend PPKL, padahal disana tidak ada gambut dan surat itu diperlukan saat mendaftar PSR secara online,” papar Gulat ke sawitsetara.co.
Disatu sisi bila merujuk ke Surat Edaran (SE) Dirjen PPKL Nomor SE-3/MENLHK-PPKL/SET/KUM/11/2019, bahwa dalam SE ini pada poin 9 huruf (b), tertulis bahwa KLHK malah tidak melarang pemanfaatan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut (FBEG) yang sudah eksisting, sudah ada tanamannya (dimanfaatkan) dan tetap dapat dilanjutkan pemanfaatannya dengan catatan harus tetap menjaga fungsi hidrologis gambut tersebut.
“Tidak relevan jika gambut dijadikan syarat PSR, Kementerian KLHK saja tidak melarang, kok malah Permentan melarang ?”, ujar Gulat dengan heran.
Gulat lanjut menekankan sebagai catatan bahwa dalam kamus gambut, tidak lazim dikenal istilah Kawasan Lindung Gambut (KLG), tetapi yang ada adalah Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut (FBEG).
“Makanya saya melihat KLHK dalam hal ini Ditjend PPKL, pada awalnya tampak kebingungan untuk menerbitkan model surat rekomendasinya dan seingat saya persyaratan ini tidak pernah ada dalam draft permentan,” lanjut Gulat.
Gulat menegaskan sebagai organisasi petani sawit yang sudah berdiri sejak 23 tahun lalu, APKASINDO hanya ingin berguna untuk mendukung dan mensukseskan program cemerlang dari Pak Jokowi. Dan sejatinya, Pak Jokowi adalah “owner” dari program PSR yang dititip di Kementan dan BPDPKS, “Jadi wajar saja Pak Jokowi “mengkerutkan kening” ketika saya laporkan kondisi yang sesungguhnya saat Pak Jokowi ke Riau. Lihat saja penurunan dari tahun ke tahun capaian PSR, tahun 2019 sampai 2022 berturut-turut sebagai berikut 88.339 ha (49%), 91.994 ha (51%), 27.746 (15%)dan terakhir 17.908 ha (9,9%),” ujar Gulat.
Ketua Umum ASPEK PIR, Setiyono, ditempat terpisah mengatakan bahwa Permentan 03 tersebut secara umum sudah bagus, “Tapi terkait Bab IV Tentang PSR perlu ditinjau kembali supaya terkait persyaratan PSR lebih di mudahkan melalui revisi perbaikan agar lebih mudah diraih kami petani”.
“Jauh sebelumnya, bahkan kami sudah menyurati Kementan yang isinya meminta direvisi Permentan terkait PSR tersebut dan mengusulkan persyaratan PSR seperti surat rekomendasi dari Kementerian LHK terkait Kawasan hutan, surat dari Ditjend PPKL terkait gambut dan juga dari Kementerian ATR/BPN untuk dapat di hilangkan,” harap Setoyono.
“Kami paham dan sangat mengerti pemerintah sangat memperhatikan pekebun agar di kemudian hari tidak ada permasalahan di lapangan. Sebagai bentuk keseriusan, kami akan ke Kementerian Pertanian dalam waktu dekat, untuk menyampaikan usul sebagaimana surat kami sebelumnya,” ujar Setiyono ketika transit di Batam tujuan Surabaya kepada sawitsetara.co.
Hambatan lain yang kami rasakan adalah jika petani harus bolak balik dipanggil oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terkait PSR yang dilaksanakan oleh anggota kami. “Akibat dari bolak-balek dipanggil oleh APH, teman-teman petani dibeberapa provinsi tidak mau lagi melanjutkan PSR selanjutnya, karena ketakutan dan trauma. “Tentu ini akan merugikan kami sebagai petani yang sedang bersemangat untuk replanting demi masa depan ekonomi keluarga”, lanjut Setiyono.
“Intinya, kami sangat mendukung Program PSR dari Presiden Jokowi dan berharap capaian PSR tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya”, tutup Setiyono.
Seakan sudah saling komunikasi, ternyata Ketua Umum SAMADE, Tolen Ketaren, juga berpendapat sama dengan APKASINDO dan ASPEK PIR, bahwa Program PSR dari Pak Jokowi ini sangat cemerlang dan harapan petani sawit. Namun kami dari SAMADE sudah mengevaluasi bahwa ada yang perlu ditinjau di Permentan 03/2022 tersebut, terkhusus terkait PSR.
“Faktanya capaian PSR di tahun 2022 ini terburuk sepanjang sejarah, banyak provinsi SAMADE yang zoonk nol persen. Terus terang mau saja petani sawit di PSR kan kebunnya sudah bersyukur kita semua, karena selama 3 tahun si petani sawit harus kehilangan mata pencaharian utama dan PSR itu tidak gratis karena si petani harus menutupi kekurangan dari dana BPDPKS. Yang penting wajib dari sawit ke sawit, jangan dari tanaman lain ke sawit, ini prinsipnya,” ujar Tolen kepada sawitsetara.co.
Mengenai APH, Tolen juga juga merasakan hal yang sama dimana kawan-kawan petani di beberapa provinsi SAMADE dan Asosiasi Petani lainnya, banyak yang mengeluh, bahkan ada yang di BAP sampai tengah malam.
“Sepertinya seakan-akan sudah terjadi tindak pidana korupsi, padahal sudah diaudit oleh Sucofindo dan BPK dan hasil audit clear, tapi tetap juga di BAP berulang-ulang. Bahkan di Aceh teman-teman petani sawit APKASINDO, saya dengar ada yang sudah dua tahun di BAP oleh Kejaksaan Tinggi Aceh dan berkelanjutan pulak sampai sekarang, gak siap-siap, sampai tukang pikul bibit pun di BAP kabarnya.
“Saran kami, perlu juga ke APH sosialisasi tentang PSR ini dan perlu ditegaskan bahwa dana sawit BPDPKS bukan berasal dari APBN, tapi berasal dari Pungutan Ekspor (levy) yang dibebankan ke harga TBS Petani, paling tidak saat ini kisaran Rp270/kg TBS,” lanjutnya.
“Hambatan-hambatan ini, termasuk dari APH, dalam waktu dekat akan kami surati Presiden Jokowi,” kata Tolen kepada sawitsetara.co dari tengah perkebunan sawit miliknya.
Jur: Golda
Red: Maria Pandiangan