sawitsetara.co – JAKARTA – Industri kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis nasional yang menyumbang kurang lebih 42 persen dari total pasokan minyak nabati dunia dengan pangsa pasar Indonesia sekitar 60 persen dari pangsa pasar produsen crude palm oil (CPO) dunia. Total nilai ekspor produk kelapa sawit Indonesia mencapai USD40 miliar atau kurang lebih 14,2 persen total ekspor non migas Indonesia.
“Selain itu, industri kelapa sawit menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 2,4 juta pekebun swadaya dan tenaga kerja dan secara langsung dan tidak langsung sebanyak 16 juta tenaga kerja. Jadi, industri berkontribusi positif dalam pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di sektor perkebunan, di mana pada triwulan II-2024 bertumbuh positif di angka 5,05 persen,” papar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengutip laman ekon.go.id.
Terkait policy brief (ringkasan kebijakan) yang disampaikan, beberapa poin penting yang ditanggapi Airlangga, yaitu antara lain dalam mengintegrasikan kebijakan tata kelola kelapa sawit yang berkelanjutan akan diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Strategi dan Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (SANAS KSB) Tahun 2025-2029. Lalu, terkait kelembagaan yang menangani sektor kelapa sawit, pada 2015 pemerintah telah membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan Komite Pengarah yang terdiri dari delapan kementerian dan menjadi wadah merumuskan kebijakan terkait industri kelapa sawit dari hulu sampai hilir.
Selanjutnya, program mandatori biodiesel merupakan konsepsi nyata dari implementasi hilirisasi produk kelapa sawit. Kebijakan biodiesel dimulai sejak 2009 dengan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), lalu sejak 2015 melalui pembiayaan BPDPKS.
Program B35 di 2023 telah berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 32,6 juta ton CO2. Target volume penyaluran B35 pada 2024 sebesar 13,4 juta kilo liter (KL), dengan realisasi penyaluran 8,49 juta KL sampai Agustus 2024.
Sementara itu, mandatori B40 ditargetkan dimulai pada 2025, dengan penyaluran sebesar 16,08 juta KL dan potensi penghematan devisa sebesar Rp158,86 triliun.
“Karena pertama kita tidak ingin menggantungkan kepada impor solar, jadi memproduksi biofuel yang merupakan arahan Pemerintahan ke depan. Sekarang B35 diharapkan bisa ke B40, bahkan ke B100 walaupun dengan teknologi berbeda. Jadi, ini yang Pemerintah akan terus dorong,” ucap Menko Airlangga.
Di samping itu, pemerintah juga sedang dalam proses pengembangan palm kernel expeller (PKE) atau bungkil sawit yang berp otensi menjadi pakan ternak serta dapat diolah menjadi bioetanol yang diharapkan dapat masuk dalam daftar Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang diakui oleh International Civil Aviation Organization (ICAO). Saat ini, Kemenko Perekonomian telah membentuk Tim Percepatan Pemanfaatan PKE untuk Bahan Baku CORSIA SAF yang terdiri atas kementerian/lembaga terkait.
Dalam menjawab tantangan global atas produk-produk kelapa sawit yang berkelanjutan, terutama dalam menghadapi kebijakan European Union Deforestation-free Regulation (EUDR), pemerintah telah membangun Dasbor Nasional Data dan Informasi Komoditi Berkelanjutan Indonesia yang meliputi komoditas yang terdampak kebijakan EUDR, yaitu kelapa sawit, kakao, karet, kopi dan kayu.
“Salah satu komponen penting yang dipersyaratkan dalam EUDR adalah legalitas dan asal usul lahan perkebunan. Pada prinsipnya, informasi tersebut sudah dapat dipenuhi melalui Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang merupakan kewenangan dari Kementerian Pertanian,” pungkas Airlangga. (yin)