sawitsetara.co – JAKARTA –Benar bahwa Indonesia berhasil membuktikan diskriminasi oleh Uni Eropa (UE) dalam sengketa dagang kelapa sawit di World Trade Organization (WTO). Tapi hal tersebut bukan berarti hamabtan eskpor sawit ke Uni Eropa.
Hal tersebut diungkapkan oleh M.Fadhil Hasan Ketua Biadang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) kepada sawitsetara.co.
“Memang benar kita sudah menang dari WTO tapi kita masih menunggu hasil revisi dari Renewable Energy Directives (RED) II. Seperti apa hasil revisi tersebut,” ungkap Fadhil.
Seperti diketahui bahwa RED II juga ikut menghambat akses masuk ekspor kelapa sawit dan produk-produk turunannya ke 28 negara-negara anggota UE. RED II atau juga dikenal dengan sebutan Amendment Renewable Energy Directive 2009/20/EC, merupakan pedoman yang digunakan UE dalam penggunaan energi terbarukan.
Di dalamnya termuat kewajiban UE untuk menerapkan energi terbarukan paling sedikit 20% dari total kebutuhan energi pada 2020. Kebijakan itu juga mengatur penggunaan jenis bahan bakar nabati, namun mengesampingkan bahan bakar nabati dari kelapa sawit.
Selain itu kebijakan ini dinilai hanya menguntungkan produk minyak nabati asal UE yang bersumber dari biji rapa.
“Artinya kita masih menunggu seperti apa hasil revisi RED II ini,” jelas Fadhil.
Disisi lain, Fadhil menyambut baik dengan adanya pennguatan kerjasama dengan pihak negara luaruntuk penguatan sawit, diantaranya dengan Malaysia yang juga sebagai penghasil sawit. “Penguatan sawit bersama dengan Malaysia sudah kita lakukan, contahnya melalui CPOPC (Council of Palm Oil Producing Countries).
Seperti diketahui CPOPC adalah organisasi antar pemerintah yang didirikan oleh Indonesia dan Malaysia untuk bersama-sama mempromosikan penggunaan global minyak sawit. Bersama-sama, kedua negara memproduksi sebagian besar minyak sawit dunia, sebuah produk yang mendapat tekanan karena masalah lingkungan.
“Kita berharap dengan penguatan sawit dengan negara-negara luar bisa dapat mendorong sektor sawit,” harap Fadhil.
Namun, Fadhil mengakui bahwa hambatan tidak hanya dari luar negeri, tapi ada juga dari dalam negeri.. diantaranya, regulasi yang kurang mendukung atau menyudutkan sawit sehingga membuat iklim investasi sawit menjadi tidak koindusif. (yin)