sawitsetara.co – JAKARTA – Ancaman awan resesi 2023 yang selalu didengungkan, penolakan dan ketidaksetabilan pasar CPO (crude palm oil) dari negara importir di Benua Eropa, justru dapat menjadi peluang bagi industri sawit Indonesia untuk terus tumbuh berkembang, bahkan menjadikan Indonesia sebagai barometer dan penentu CPO di pasar global.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga pada talkshow Optimalisasi Ekspor Sawit Sebagai Antisipasi Dampak Resesi di Jakarta, Rabu (14/12/2022).
“Syaratnya, pemerintah jangan menerbitkan regulasi yang aneh dan macam-macam lagi. Indonesia ini negara terluas perkebunan sawitnya dan eksportir CPO terbesar di dunia, namun kita justru belum dapat menjadi penentu. Harga CPO masih berpatokan ke Rotterdam dan pasar Malaysia. Pemerintah jangan hanya menjadi macan kertas dan mau diatur-atur negara lain,” ucap sahat.
Sawit yang tumbuh subur di negara tropis, dengan lima negara penghasil berada di kawasan Asean, menurut Sahat telah menjadikan kawasan ini sebagai penyuplai minyak nabati dunia terbesar. Di Malaysia, menurutnya produkstivitas sawit di negera jiran tersebut saat ini mengalami penurunan akibat kekurangan tenaga kerja yang menyebabkan perkebunan sawit tak terawat dengan baik.
“Di negara-negara maju penghasil soft oil, saat ini justru mengalami pertumbuhan produksi yang konstan sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan pasarnya. Jadi kemana lagi mereka akan mencari sumber minyak nabati. Sawit tetap prospektif dan harga CPO di pasar global diprediksi akan meningkat,” ujarnya.

Dikatakannya, peran pemerintah dalam mendorong kemajuan industri sawit nasional sangat vital. Berkaca dari pengalaman beberapa waktu lalu, saat minyak goreng mengalami kelangkaan, justru harga TBS sawit juga anjlok akibat adanya regulasi pelarangan ekspor CPO ke luar negeri guna dapat memenuhi pasokan migor di dalam negeri.
“Jadi siapa yang rugi dan diuntungkan akibat regulasi pelarangan ekspor itu berlaku. Saat disparitas harga terlalu tinggi, yakinlah yang timbul justru black market. Malaysia telah memiliki sistem yang kuat, saat hal tertentu mengenai sawit dan produk turunannya mengalami kendala bisa langsung diantisipasi. Cina, ini negara dengan kapital sangat besar, mereka bisa langsung mengintervensi dengan modal kapital untuk menyeimbangkan kondisi yang ada,” ucapnya.
Untuk itu, menurut Sahat kejadian adanya pelarangan ekspor seperti pada 2022 agar dihindari, karena menyebabkan TBS sawit milik petani tidak dapat dipanen akibat tersendat oleh alur ekspor.
“Kini industri sawit perlahan mulai pulih kembali. Produksi CPO pada 2022 ini diperkirakan sebesar 46,5 juta ton, pada tahun 2023 besok bisa meningkat mencapai 48,1 juta ton. Sedangkan untuk ekspor CPO pada 2022 ini mencapai 30,9 juta ton dan pada 2023 perkirakan dapat naik sekitar 33,4 juta ton,” ucapnya.
Untuk minyak goreng dan aturan Domestic Market Obligation (DMO) yang diterapkan pemerintah kepada industri CPO untuk memenuhi pasokan minyak goreng di dalam negeri, dirinya menyarankan agar meninggalkan konsep DMO dan menerapkan skema insentif dengan melibatkan Bulog sebagai distributor.
“Migor rakyat ini harus ditata dengan baik, berdayakan Bulog sebagai distributor, terapkan HET. Jika terjadi selisih harga antara HET dan harga pasar, pemerintah membayar ke distributor yakni ke Bulog dan bukan ke produsen minyak goreng,” ucapnya.
Kelesuan Eropa, Peluang Sawit RI
Pasar Eropa, yang menjadi salah satu tujuan ekspor CPO asal Indonesia, kerap menerapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar CPO Indonesia dapat masuk ke negera tersebut. Namun sejak perang antara Rusia dan Ukraina berkecamuk di benua biru tersebut, alur pasokan gandum dan bahan baku pupuk dari negara tersebut juga terkendala. Akibatnya, industri di kawasan tersebut juga mengalami kelesuan. Kondisi ini, juga merupakan sebuah peluang bagi industri sawit di Indonesia.
“Lesunya industri di Eropa akibat resesi, justru dapat menjadi pemicu industri oleochemical di Uni Eropa untuk merelokasi pabrik dan usahanya ke sini. Ini juga peluang bagi Indonesia. Siapkan regulasi dan insentif yang menarik bagi mereka agar mau pindah ke sini, semakin hilir produk yang dihasilkan dari bahan baku sawit, semakin bagus insentif yang diberikan,” ucap Sahat.
Sulit masuknya CPO asal Indonesia ke Eropa dengan berbagai alasan yang diterapkan sepihak oleh pihak Uni Eropa dengan berbagai tuduhan dan black campaign, juga harus diantisipasi. Saat ini, sekitar 3,5 juta ton CPO Indonesia memasuki pasar Eropa.
“Eropa akan men-baned import sawit dari Indonesia, ya sekitar 3,5 juta ton. Mulailah lihat prospek pasar baru yakni ke Afrika. Alihkan pasar ke Benua Afrika, ini potensi besar. Terus kita kembangkan teknologi pengolahan TBS ke produk turunan sawit. Sawit Indonesai tetap akan berjaya asal tidak ada aturan dan regulasi yang macam-macam yang justru dapat menghambat kemajuan industri sawit,” tegas sahat.
Jur: Tridara Merninda
Red: SS03