Bersandar di tebing selat Melaka. Inilah ‘jelita pagi’ dalam nada kampung-kampung Melayu. Tebing kampung jadi tumpuan angin sekaligus pemecah angin (wind breaker). Tanjung Leban, Sepahat, laksana sumbu ‘neraka’ musim kemarau kala tiupan angin Desember (angin Utara) menghempas. Ini bukan Khirgistan yang punya kawah api abadi. Tapi, api dan lahan gambut adalah persebatian laten yang tersembunyi di arena senyap bawah tanah Sepahat, Tanjung Leban dan juga sesekali menerpa Tenggayun dan kampung Api-api serta Temiang.
Inilah deretan kampung-kampung Melayu tua sepanjang rezim romantis era Laksamana Raja Di Laut Bukit Batu yang sohor itu. Kampung-kampung itu telah diikat oleh sebatang jalan raya yang mengikut liuk pantai selat Melaka sisian Sumatra. Jalan raya yang mengubah orientasi hidup dari melaut menjadi ‘membenua’; walau tak melepas segala ihwal bahari yang masih tersisa.
Gelagat tani sederhana di lahan kering, berkebun di atas huma dalam nada palawija dan rempah: dulu. Saat ini rempaknya kian merimbun; ya, mereka sudah bertanam sawit di sisian barat badan jalan. Sementara di sisi timur badan jalan, telah mulai dibuka pada beberapa titik tambak udang budidaya; utamanya jenis vanamee. Geliat ekonomi kampung-kampung terasa berdenyar. Di tambah lagi, hidangan pantai-pantai yang menggoda di sepanjang selat. Pantai-pantai ini melelehkan liur para pelancong lokal dari Dumai dan Bengkalis untuk mereguk riuh-rendahnya kehidupan dan suasana manusia selat dengan keragaman resamnya.
Jalan raya mengubah segalanya. Keberanian orang membangun tambak udang dan berkebun sawit skala besar di kampung-kampung gemeretap ini, tentu disebabkan pesona jalan raya yang mampu mengantar segala hasil tanah dan bumi dari kampung-kampung menawan ini menerobos pasar di kota-kota besar Sumatra bahkan Medan hingga Lampung.
Udang Vanamee; ya sebuah nama yang sedang seksi-seksinya. Menerbitkan liur ekonomi. Dia menjadi penggoda Indonesia. Dan dari kampung Api-api inilah liur godaan itu melecah dari tangkai tangan comel seorang pegiat tambak yang gigih; Bustami. Lelaki semampai ini, jauh rengkuh visi agrikulturnya. Dia seorang Melayu yang perisau mengenai tanah dan masa depan. Mengenai api dan kebakaran lahan. Tentang Melayu dan sawit. Melayu dan ternak sapi jua kerbau. Menjadi lengkap, kerisauan visioner ini digenapkan pula oleh sang istri yang lasak (asli kampung Api-api). Mereka berkebun sawit, beternak hewan besar (kerbau dan sapi) dan melibatkan anak-anak. Malah ada seorang anaknya yang disekolahkan di sekolah Penerbangan di Bandung. Ya, visi seorang petani yang lasak dan menggeriang.
Sawit, dalam skala perkebunan, bukan ihwal baru dan asing lagi. Tanaman ini telah menjadi pantun dan ulam kehidupan bagi mereka. Sawit belahan darat, bentang tambak belahan pantai, telah menjadi “kembaran moda” bagi masyarakat Melayu sepanjang pantai Selat Melaka. Era pandemik ini malah menjadi injab sekaligus uji (laik uji); bahwa orang-orang kampung tak lagi melakukan perdagangan tradisional lintas batas (ke Batu Pahat dan Muar) membawa hasil bumi dan niagaan lain untuk dipertukar dengan segala komoditi dari Semenanjung. Orang-orang kampung sepanjang Api-api, Temiang, Tenggayun, Sepahat dan Tanjung Leban mempertontonkan ketangguhan ekonomi kampung yang berderap sepanjang hari. Di tambah lagi sokongan ekonomi akhir pekan (weekend); semua orang menyerbu pantai. Menolak muak dan galau dikandang di ruang rumah yang kemak dan serba sempit.
Wah… laut, selat dan air asin. Ini dia judu perlawanan Covid-19. Virus ini, menurut keyakinan setengah orang, menjadi banal ketika dilawan dengan cara menceburkan diri ke dalam air laut (yang asin). Sisa air garam yang menerobos ke pangkal liang hidung (pernafasan) menjadi pemati segala virus yang akan menerobos paru-paru manusia. Dan… orang-orang pun merindu menghidu dan mereguk air laut selama masa pandemik berkecamuk. Mereka bergurau tepi pantai, sepanjang Sabtu dan Ahad. Bahkan menceburkan diri di dalam segara selat.
Kampung-kampung berpinggang sawit dan tambak. Adalah wajah baru nan memukau bagi tampilan perkampungan sepanjang sisian selat Melaka yang legenda itu. Kampung-kampung bertaman sawit, bertema tambak adalah wilayah pertemuan air dan muka angin yang mengeras pada sebuah musim. Di sini angin menyalak sejadi-jadinya. Dulu angin Desember yang menghempas dari selat Melaka, dijinakkan oleh kanopi daun-daun hutan tropis menjulang. Kini, jinakan itu dilakukan oleh sebuah gaya vegetasi baru; ya gemulai kanopi daun sawit dan beberapa ujung dahan karet (getah) yang masih tersisa. Inilah kampung-kampung angin dengan velositas tinggi, yang mesti dirawat dalam keragamanan vegetasi yang berlapis-lapis itu. Dan sawit menjadi peneguh baru bagi penjinakan angin, walau sesekali dia mengundang bara api di sejumlah bentang permukaan lahan gambut yang beristana di sepanjang sisian tebing pantai selat Melaka (peat dome/ kubah gambut). Dan ini adalah sisian nasib (destiny); namun bisa dipertukarkan dengan sejumlah visi agrikultur yang kenyal sebagaimana digenggam oleh seorang Bustami.
Ya, bak lempeng sagu (Malay pizza) yang dihidang sang isteri kala memulai makan siang di atas istana hinggap tepian pantai milik Bustami yang aduhai. Lempeng itu simbol renyah dan kelenturan. Mereka yang beternak dan berkebun sawit, boleh saja menjadi gagu dengan kehadiran lempeng sagu. Namun, bagi orang-orang sepanjang pantai ini, sagu, lempeng, gobak, kepurun dan sejumlah olahan turunannya adalah sejumlah bangunan talibun dan pantun yang cerdas geriang untuk memfestivalkan kehadiran tanaman baru bernama elaeis (sawit) yang juwita itu… Lalu, tambak udang lah pelanggamnya…
Selalu saja ada sensasi tak biasa ketika membaca kolom Prof YY. Prof kita ini bicara tentang optimisme dalam kemasan terma yang sangat abstraktif, bukan dalam ungkapan motivasi biasa, “dimana ada kemauan di situ ada jalan”. Bacalah pelan-pelan. Prof kita tidak mau terperangkap dalam polarisasi benci tapi rindu yang melekat pada gempita perkebunan sawit, juga tidak pada kelatahan intelektual menggugat abrasi selat. Dia tak hendak menumpang pada isu kehidupan nelayan yang sering ditragedikan sebagai pantai yang letih ditepuk ombak. Olah kata ala Prof YY membutukan kepiawaian tingkat dewa. Salut.
Selalu saja ada sensasi tak biasa ketika membaca kolom Prof YY. Prof kita ini bicara tentang optimisme dalam kemasan terma yang sangat abstraktif, bukan dalam ungkapan motivasi biasa, “dimana ada kemauan di situ ada jalan”. Bacalah pelan-pelan. Prof kita tidak mau terperangkap dalam polarisasi benci tapi rindu yang melekat pada gempita perkebunan sawit, juga tidak pada kelatahan intelektual menggugat abrasi selat. Dia tak hendak menumpang pada isu kehidupan nelayan yang sering ditragedikan sebagai pantai yang letih ditepuk ombak. Olah kata ala Prof YY membutuhkan kepiawaian tingkat dewa. Salut.