sawitsetara.co – JAKARTA – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengaku masih belum bisa memastikan efektivitas dari penurunan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO), berikut dampaknya terhadap pendanaan atau ‘subsidi’ program mandatori biodiesel.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurachman mengatakan instansinya masih akan mengevaluasi dampak kebijakan, yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 62/2024, tersebut setidaknya dalam satu semester ke depan.
“Efektivitas dari kebijakan ini baru bisa kita lihat beberapa bulan ke depan. Untuk itu akan dilakukan evaluasi 6 bulan setelah diberlakukan,” kata Eddy, mengutip bloombergtechnoz.com.
Setoran pungutan ekspor CPO dikelola oleh BPDPKS digunakan untuk komododitas sawit dari hulu hingga hilir diantaranya untuk mendorong program peremajaan sawit rakyat (PSR), meningkatkan SDM, promosi, riset dan bidodiesel.
Eddy pun menegaskan bahwa kebijakan penyesuaian tarif pungutan ekspor ini diharapkan dapat mendongkrak pengiriman komoditas CPO dan derivatifnya di tengah persaingan pasar minyak nabati global.
“Tujuan utama dari kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan daya saing CPO dan produk turunan terhadap minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, dan lain-lain, mengingat adanya kecenderungan penurunan harga dari minyak kedelai karena meningkatnya produksi atau suplai,” ungkap Eddy.
Di sisi lain, ekonom sekaligus pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Negeri Veteran Jakarta (UPNJ) Achmad Nur Hidayat menilai pemangkasan pungutan ekspor CPO memang bisa meringankan beban eksportir minyak sawit.
Sehingga dengan berkurangnya pendapatan dari pungutan ekspor CPO tersebut, Achmad menilai kemampuan pemerintah melalui BPDPKS untuk mendorng program-program sawit dapat terganggu.
Ini bisa menjadi tantangan serius bagi keberlanjutan program sawit pada masa depan, terutama jika pemerintah tidak segera mencari sumber pendanaan alternatif, seperti pajak karbon atau kebijakan lainnya.
“Dengan demikian, meskipun kebijakan ini memberikan dorongan bagi sektor sawit dalam jangka pendek, terutama dalam hal peningkatan daya saing ekspor, pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap program energi berkelanjutan di Indonesia,” jelas Achmad.
Sekedar catatan, Indonesia memungut bea keluar (BK) dan pungutan tambahan atas ekspor kelapa sawit. Referensi atas pungutanrata-rata tertimbang berdasarkan harga minyak kelapa sawit ditetapkan setiap bulan oleh Kementerian Perdagangan untuk menghitung bea keluar.
Adapun, pemangkasan pungutan menjadi USD63/ton dari USD90 per ton untuk September. Pungutan untuk produk kelapa sawit olahan akan berkisar antara 3% dan 6%. Peraturan baru ini berlaku mulai 22 September.
Segala perubahan ini akan membantu Indonesia menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan negara tetangganya, Malaysia, yang merupakan produsen terbesar kedua.
Hal ini dapat menambah tekanan lebih lanjut terhadap harga minyak sawit berjangka, yang telah turun lebih dari 10% di Kuala Lumpur sejak harga tertinggi pada April. sumber: bloombergtechnoz.com