sawitsetara.co – JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan sejak tahun 2015 petani belum pernah mendapatkan harga tandan buah segar (TBS) yang cocok. Namun, melalui program biodiesel naiknya harga crude palm oil (CPO) bisa dinikmati oleh petani. “Kami petani yang merasakan manfaatnya bukan mereka yang suka teriak-teriak beranimasi,” ucapnya.
Ia menyebut program biodiesel ini sangat strategis dalam rangka mendukung keberlanjutan sawit nasional. Menurutnya seandainya kelebihan pasokan dalam negeri tidak terserap lewat program biodiesel akan terjadi kelebihan stok, yang berdampak pada turunnya harga pada harga TBS di tingkat petani. “Secara berlanjut akan berdampak pada pendapatan petani, prinsipnya itu,” paparnya.
Hal yang sama dikemukakan Ketua Apkasindo Provinsi Riau Suher. Menurutnya, kebijakan mandatori biodiesel ini mengatrol harga TBS di tingkat petani. “Harga TBS itu bergantung pada harga CPO. Jika CPO-nya banyak diserap di dalam negeri untuk bahan baku biodiesel bisa dipastikan harga TBS akan naik. Ini kan menguntungkan petani,” katanya.
Suher tak sependapat bahwa kebijakan mandatori biodiesel ini hanya menguntungkan produsen biodiesel yang hanya dimiliki segelintir orang saja. Menurut Suher kebijakan ini menguntungkan petani sawit karena mendapatkan harga TBS yang tinggi dan rakyat Indonesia terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
“Biodiesel yang dijual ini kan barang subsidi. Mereka yang beli kan juga diatur pemerintah yakni masyarakat berpenghasilan rendah, seperti sopir truk, nelayan dan sebagainya. Ini kan menguntungkan rakyat,” papar Suher.
Persoalan produsen biodiesel mendapatkan keuntungan, kata Suher, hal itu merupakan hal yang wajar saja. “Yang ada itu kan biodiesel itu dijual oleh produsen kemudian dibeli oleh Pertamina, lantas ada margin. Yang namanya korporasi itu dia punya produksi, lantas dia jual dan dapat keuntungan, itu wajar-wajar saja. Gak ada yang salah,” katanya.
Perusahaan yang memproduksi biodiesel atau FAME tersebut, lanjut Suher, wajar saja dapat keuntungan. Keuntungannya itupun kan diatur sama pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan, termasuk biaya olah, harga CPO, harga referensi yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
“Jadi di sini tidak ada keuntungan secara berlebihan yang didapatkan produsen biodiesel. Karena semuanya telah diatur oleh peraturan yang dibuat pemerintah dalam hal ini Kemendag. Harga referensi merupakan patokan dari penetapan harga biodiesel maupun pembelian CPO,” katanya.
Suher menegaskan bahwa program mandatori biodiesel ini menjamin masa depan petani sawit. Karena dengan program ini akan terjadi multiplier effect. Pertama, petani akan mendapatkan harga yang menguntungkan dari TBS yang dijualnya, meskipun belum optimal.
Kedua, biodiesel itu juga berguna untuk rakyat Indonesia terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena pengguna biodiesel subsidi ini juga telah diatur oleh pemerintah, misalnya sopir truk, nelayan dan yang lainnya.
Ketiga, dengan program ini menghemat devisa negara. Dengan Program B35 yang diberlakukan saat ini berarti negara tidak perlu mengimpor sebanyak 35% solar yang dibutuhkan Indonesia.
Kendati demikian, masih saja ada tudingan yang menyatakan kebijakan mandatori biodiesel ini menguntungkan produsen biodiesel yang notabene merupakan korporasi besar. Tudingan tersebut, salah satunya datang dari Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka.
Menurutnya, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak adil dalam menyalurkan anggaran yang dikelolanya. “Ada tiga perusahaan besar yang merupakan produsen biodiesel dapat Rp176 triliun atau sekitar 91,3% dari dana yang disalurkan BPDPKS. Sementara untuk kebutuhan perkebunan sawit rakyat di antaranya untuk replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR) hanya sekitar 0,37%,” kata Rieke Diah Pitaloka pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Direksi PTPN Holding dan Perhutani yang disiarkan melalui Instagram pribadinya riekediahp.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman membantah tudingan tersebut. Dia menegaskan penyaluran subsidi untuk selisih harga indeks pasar (HIP) biodiesel dan solar dengan pungutan ekspor kepada perusahaan sawit adalah hal yang berbeda.
“Tidak ada kaitannya antara pungutan ekspor dengan produksi ini. Itu berdiri sendiri-sendiri. Saya tekankan berdiri sendiri-sendiri. Banyak perusahaan biodiesel yang bukan eksportir,” kata Eddy.
Eddy menegaskan uang subsidi itu bukan untuk kepentingan pengusaha. Menurutnya, subsidi justru menjaga agar harga biodiesel dan solar di masyarakat terjangkau.
Dalam menyalurkan dananya, BPDPKS tidak membeda-bedakan antara kepentingan mandatori biodiesel dengan PSR. BPDPKS akan memberikan berapapun kebutuhan untuk PSR. Namun persoalannya selama ini, anggaran yang disiapkan BPDPKS untuk PSR selalu saja tak terserap 100%.
“Jangan membeda-bedakan antara biodiesel sama PSR. Berapa pun yang diperlukan untuk PSR akan kami kasih, sepanjang itu bisa terserap. Masalahnya gini loh, misal alokasikan Rp50 triliun, tapi kamu (petani) cuma bisa menyerap Rp1 triliun. Kan gak ada gunanya Rp50 triliun itu,” sambungnya.
Diketahui, BPDPKS dibentuk oleh Pemerintah untuk mendukung ketercapaian upaya mewujudkan sawit berkelanjutan. Sesuai dengan Perpres 61/2015 jo. Perpres 24/2016 jo. Perpres 66/2018, Pemerintah memberikan tugas kepada BPDPKS untuk menghimpun, mengembangkan, dan menggunakan Dana Perkebunan Kelapa Sawit bagi kemaslahatan industri sawit.
BPDPKS diberikan mandat untuk melakukan sejumlah tindakan, yakni: (1) pengembangan sumber daya manusia perkebunan kelapa sawit, (2) penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, (3) promosi perkebunan kelapa sawit, (4) peremajaan perkebunan kelapa sawit, dan (5) sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit. Penggunaan dana di atas termasuk dalam rangka pemenuhan hasil perkebunan kelapa sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakan nabati jenis biodiesel. (SDR).