sawitsetara.co – MEDAN – Petani sawit yang berasal dari 15 negara penghasil sawit di dunia, berkumpul dan membahas sawit berkelajutan bagi petani sawit yang digagas Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) di Medan pada agenda Smallholder Outreach Programme (SOP), Selasa (22/11).
Menghadirkan berbagai narasumber baik dari kalangan petani sawit, pejabat hingga stakeholder yang berkepentiangan terhadap pembangunan kelapa sawit berkelanjutan yang kini terus digesa oleh pemerintah.
Djono A. Burhan, S.Kom., MMgt, CC, CL, petani sawit milenial yang merupakan perwakilan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) yang berasal dari Provinsi Riau, pada forum tersebut mengupas berbagai tantangan yang harus dihadapi petani sawit, khususnya petani swadaya untuk mendapatkan sertifikasi ISPO, serta tantangan mandatory ISPO di perkebunan sawit Indonesia.
“Pada dasarnya petani sawit di Indonesia sudah mengetahui pentingnya ISPO dan ingin mendapatkan ISPO, hanya saja banyak tantangan yang harus dihadapi untuk dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Mulai dari lahan sawit yang ternyata masuk dalam kawasan hutan, meskipun petani tersebut justru sudah punya surat kepemilikan. Mahalnya biaya proses untuk mendapatkan ISPO, belum lagi banyak bibit yang tidak diketahui keabsahannya khususnya pada pohon sawit yang ditanam di tahun 2010 ke bawah. Beberapa solusinya adalah, dorong peremajaan sebagai batu loncatan ISPO, bantu petani melepaskan status kawasan hutan,” ucap Djono A. Burhan, S.Kom., MMgt, CC, CL yang juga alumni sekolah Auditor ISPO pada sawitsetara.co.
Selain itu, adanya kelemahan data administrasi pada negara berkembang termasuk Malaysia dan Indonesia kerap dimanfaatkan oleh negara maju seperti yang terjadi dalam RED II, dan menebarkan tuduhan bahwa sawit diproduksi dengan cara deforestasi, kebun sawit indikasi dalam kawasan hutan dan penggundulan kawasan hutan untuk tanaman sawit.
“Padahal yang kita tahu, petani sudah memiliki surat hak kepemilikan sejak tahun 90-an, ini juga menjadi PR kita bersama CPOPC untuk melakukan diplomasi ini. Karena kita tahu faktanya bahwa ini adalah misadministrasi dan terbukti sawit meningkatkan perekonomian masyarakat yang berada di pedesaan dan menumbuhkan sentra-sentra ekonomi baru,” ucap Djono.

Terkait penerapan ISPO di Indonesia, maupun MSPO yang diberlakukan untuk petani sawit di Malaysia, Indonesia perlu mencontoh kebijakan dari Pemerintah Malaysia dalam menerapkan MSPO pada petani sawait di Malaysia.
Di Malaysia, setidaknya sudah 91% lahan petani yang memiliki MSPO. Petani sawit di negara tetangga Indonesia ini digratiskan dalam mendapatkan MSPO dengan dibayarkan langsung oleh MPOCC.
“Tidak ada reimburse-reimburse-an, bahkan petani yang telah mendapatkan MSPO juga diberikan insentif sekitar Rp500 ribu,” ujarnya.
Sebagai dua negara penghasil sawit terbesar di dunia, Djono dalam kesempatan tersebut juga menyarankan agar CPOPC bisa menjembatani adanya sertifikasi dua negara produsen terbesar, yaitu ISPO milik Indonesia dan MSPO milik Malaysia sehingga sertifikasi ini menjadi lebih unilateral dan reliable di pasar internasional.
“Kita juga mendorong agar ISPO dan MSPO untuk dapat memberikan premium price bagi pemegang sertifikat. RSPO yang merupakan sertifikat dari Eropa yang notabene sebagai negara importir saja bisa memberikan premium price, masa sebagai produsen yang punya sertifikasi ISPO dan MSPO tidak bisa memberikan premium price. Hal ini untuk meningkatkan motivasi, karena kita harus mendorong petani untuk lebih memiliki sertifikasi milik sendiri,” ucap Djono.
Dikatkannya, demi kedaulatan sebuah negara, lebih baik petani sawit mendapatkan sertifikasi ISPO ketimbang RSPO.
“Jadi harus dipermudah petani mendapatkan sertifikasi ISPO. APKASINDO sangat berterimakasih pada CPOPC atas inisiasi kegiatan ini, apalagi diikuti oleh 15 negara produsen sawit dan negara pengkonsumsi minyak nabati. Semoga setiap tahun diadakan dan DPP APKASINDO siap menjadi tuan rumah,” ucap Djono.
Jur: Tridara Merninda
Red: SS03