sawitsetara.co – BANDA ACEH – Bicara kelapa sawit otomatis ikut terbicarakan tentang pengalaman hidup keluarga Pipi Murfiza, Mahasiswi Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) Banda Aceh, dimana keluarganya dihidupi perkebunan sawit.
“Saya berasal dari keluarga yang sederhana, dari keluarga petani. Orang tua saya yang dulunya memang seorang yang kurang mampu secara finansial, kegiatannya sehari-hari adalah bertani sawit,” ucap Pipi.
Pipi menyampaikan, Hari demi hari dan masa demi masa berganti, orang tua pipi fokus bercocok tanam biji sawit hingga jadi bibit dan laku dijual. Dimana sampai sekarang mereka sekeluarga bisa menikmati hasilnya walau tidak banyak.
Ia mengatakan, bercocok tanam sawit sebetulnya tidaklah terlalu susah, juga tidak terlalu mudah. Dari pengalaman yang dia lihat di kampungnya, Aceh Jaya, banyak warga setempat bisa mengola bibit sawit hingga sampai bisa ditanam.
Cara menumbuhkan kecambah atau bibit sawit adalah dengan dimasukkan ke dalam polybag 12 x 35 cm atau 15 x 23 cm. Polybag tersebut diisi dengan tanah lapisan atas yang telah diayak sekitar 1,5–2,0 kg. Kecambah sawit atau bibit sawit lalu ditanam ke dalam polybag yang telah berisi tanah sedalam 2 cm. Jangan lupa mengecek agar tanah di dalam polybag selalu dalam keadaan lembab. Jika tanahnya kering, kecambah bibit tidak akan dapat tumbuh dengan baik.
Ketika proses pembibitan, lakukan perawatan tanaman berupa penyiraman, penyiangan, penyulaman, dan pemupukan. Penyiraman dilakukan dua kali sehari setiap pagi dan sore. Penyiangan dilakukan dua sampai tiga kali dalam sebulan.
Penyulaman dalam dunia persawitan adalah menyeleksi bibit yang mati dan pertumbuhannya tidak normal. Seleksi bibit dilakukan ketika bibit berumur empat dan sembilan bulan. Bibit yang tumbuh tidak normal, terserang penyakit, dan memiliki kelainan genetik atau cacat fisik sebaiknya dibuang dan diganti dengan bibit yang baru.
“Bicara tentang sawit tidak pernah habis-habisnya. Di kampung saya banyak warga yang tertarik pada kebun sawit karena alhamdulillah sawit bisa menyejahterakan kehidupan warga,” ucapnya.
Kemudian, polybag disimpan pada bedengan berdiameter 120 cm. Setelah disimpan dan dirawat sekitar 3-4 bulan, kecambah bibit tersebut telah tumbuh daunnya sekitar 4-5 helai. Bibit yang telah berdaun 4-5 helai telah siap untuk dipindahtanamkan.
Kemudian, bibit dari pendederan tersebut dipindahkan ke polybag setebal 0,11 mm yang berukuran 40 x 50 cm. Polybag tersebut diisi dengan tanah lapisan bagian atas yang telah diayak sebanyak 15–30 kg.
Sebelum bibit dipindahkan, tanah pada polybag disiram terlebih dahulu menggunakan 0,5 tutup botol POC NASA atau 5 ml per 1 liter air. Kemudian polybag diatur ke posisi segitiga sama sisi dengan jarak antarpolybag 90 x 90 cm.
“Abang saya pun selaku orang yang mengelola bibit kecambah sawit semakin hari semakin giat karena dari pekerjaan tersebut bisa membuahkan hasil yang lumayan. Hari demi hari proses kecambahnya pun makin baik dan alhamdulillah banyak warga sekitar yang membeli bibit sawit pada abang saya,” tambahnya.
“Kalau ayah, sudah sejak tahun 1999 menanam sawit di lahan kosong milik beliau. Ya, tidak terlalu luas. Hanya sekitar 6 ha,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan, Setelah tiga tahun sejak sawit tersebut ditanam, ayah dan ibunya bisa menikmati hasilnya walau tidak banyak. Pendeknya, dapatlah menghidupi keluarga mereka.
Seiring dengan barjalannya waktu, semakin giat ayahnya mengelola kebun sawitnya, yang mana tiap enam bulan sekali dilakukan pemupukan.
“Kata ayah, kalau kita serius merawat sawit pastilah akan membuahkan hasil. Waktu demi waktu, ayah yang fokus bertani sawit bisa menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi, berkat dari hasil budi daya sawit tersebut,” ungkapnya.
“Alhamdulillah, saya kini sudah lulus kuliah di UBBG Banda Aceh berkat doa orang tua dan juga support dari modal sawit yang mencukupi. Kami sangat mensyukurinya,” ungkapnya.
Setelah lulus kuliah, sambil menunggu-nunggu waktu wisuda, ayahnya langsung mengajaknya turun ke lapangan untuk mendalami bagaimana teknik mengelola kebun sawit. Termasuk belajar bagaimana proses menanam kecambah sawit.
Terlibat intens kini di kebun sawit ayahnya, ia mengungkapkan sangat menyenangkan baginya karena kegiatan tersebut tidaklah terlalu melelahkan. “Alhamdulillah, saya sekarang sedikit demi sedikit sudah bisa mengelola bibit kecambah sawit walau tidak terlalu pandai,” ungkapnya.
Namun, dari abangnya yang sudah berpengalaman mengelola kecambah tersebut, ia terus belajar memahami bagaimana cara mengelola sawit secara benar sejak masa pembibitan.
Setelah tiga bulan, bibit-bibit sawit tersebut semakin besar dan layak jual. Karena abangnya membudidayakannya dengan cara yang baik, banyak masyarakat yang berminat membelinya.
Beliau menjual bibit sawit yang superjumbo tersebut sekitar Rp25. 000 per polybag/batang. “Alhamdulillah, banyak yang terjual. Abang dapat uang, saya dapat ilmu tentang pembibitan sawit tanpa harus kuliah di fakultas pertanian,” katanya.
“Sejauh yang saya amati di kampung saya, dampak ekonomi dari aspek pengelolaan kebun-kebun sawit ini juga dapat memperkuat perekonomian lokal. Kehadiran perkebunan yang besar di suatu daerah dapat pula mendorong tumbuhnya bisnis-bisnis kecil dan menengah di sekitarnya, seperti usaha penjualan makanan dan minuman, atau toko-toko kecil. Hal ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan amatan saya, perkebunan kelapa sawit, termasuk kehadiran pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (CPO), dapat memberikan dampak positif terhadap tingkat pendapatan masyarakat di sekitarnya. Itu yang saya amati di Aceh Jaya, bahkan di Nagan Raya,” jelasnya.
Dampak ini terlihat dari meningkatnya taraf hidup dan kemampuan ekonomi masyarakat, serta adanya peluang usaha kecil yang berkembang di sekitar perusahaan. Hal ini tentu memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat.
Ia bersyukur kini termasuk salah seorang yang bergiat di sektor persawitan ini sambil menunggu waktu wisuda dan insyaallah kelak mengabdi sebagai guru bahasa Indonesia, sesuai dengan disiplin ilmunya saat kuliah.
Jur: Randa
Red: Yin