sawitsetara.co – Dumai – Ketua LPPM UNRI, Prof. Almasdi Syahza, S.E., M.P., menyampaikan pentingnya model rekayasa kelembagaan petani kelapa sawit dalam upaya pengembangan perkebunan berkelanjutan (SDGs) di Riau, (10/09).
Hal ini dipaparkan Prof. Almasdi dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema mewujudkan perkebunan sawit rakyat berkelanjutan melalui pola inti plasma di Provinsi Riau – seri 2 di Dumai.
Dijabarkannya bahwa kunci awal untuk sawit rakyat berkelanjutan adalah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan karenanya petani sawit perlu bermitra agar dapat melakukan kedua program kunci tersebut.

“Peremajaan sawit rakyat menjadi solusi pertama untuk mewujudkan sawit berkelanjutan. Pasalnya peremajaan sawit rakyat (PSR) bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan memperoleh Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). PSR sebagai upaya perbaikan kondisi lingkungan secara berimbang sulit untuk mengembalikan kondisi seperti semula,” terang pria yang lebih akrab dipanggil Prof. Al ini.
Menurutnya, jika tidak diprioritaskan maka dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan ekonomi petani sawit, dan negara akan kehilangan devisa dari sektor perkebunan sawit yang merupakan penopang ekonomi sejak Covid-19”.
Dalam hal PSR, Prof. Al menjelaskan pentingnya peran pemerintah untuk percepatan implementasi karena masalah yang terjadi di lapangan merupakan otoritas pemeritah.
“Terdapat tiga hal yang menjadi masalah petani sawit ketika hendak mengikuti program peremajaan sawit rakyat yakni, status lahan petani yang masuk dalam kawasan hutan, hambatan ukuran minimum lahan yang harus diremajakan, dan pembiayaan peremajaan yang hanya sekitar Rp30 juta/ha dari BPDP Kelapa Sawit,” ujar Prof Al.
Masalah senada juga dihadapi dalam hal ISPO berdasarkan analisa Prof. Al. “Rendahnya realisasi sertifikat ISPO disebabkan oleh aspek legalitas atau kepemilikan lahan yang sebagian besar berupa Surat Keterangan Tanah (SKT), sebagian areal terindikasi masuk kawasan hutan, susahnya pengurusan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), keengganan membentuk koperasi pekebun, dan masalah pendanaan seperti pra kondisi dan biaya audit.”
Padahal tujuan Utama ISPO untuk memastikan pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia, meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di luar negeri, serta meningkatkan skala ekonomi, sosial budaya, dan kualitas lingkungan. Semuanya merupakan kepentingan pemerintah.
Karenanya pemerintah perlu untuk turut membuat model rekayasa kelembagaan petani sawit yang berorientasi sawit Indonesia yang berkelanjutan baik secara ekonomi, lingkungan, sosial, dan hukum.
Jur: Devi Daulay / Red: Maria Pandiangan