Sawitsetara.net, JAKARTA – Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melawan kampanye negatif sawit. Terkhusus dewan negara-negara produsen sawit atau council palm oil producing countries (CPOPC) lebih memberikan perhatian serius perihal kampanye negatif minyak sawit di berbagai negara. Namun waktu telah merubah paradigma kampanye negatif tersebut.
Diprediksi, Produksi Crude palm Oil (CPO) tahun ini mencapai 49 juta ton. Namun, dari total produksi tersebut serapan domestik sudah mencapai sekitar 36 persen atau setara dengan 19 juta ton, sedangkan sisanya diserap oleh pasar ekspor.
Sementara itu, adapun untuk kebutuhan produksi minyak goreng sawit (MGS), diperkirakan sekitar 4,9 juta ton, tentu angka ini masih cukup rasional dengan produksi CPO dalam negeri. Dengan semakin meningkatnya serapan CPO dalam negeri dan bergeraknya industri hilir CPO, telah semakin memantapkan posisi Indonesia sebagai negara penentu pasar CPO luar negeri.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, bahwa saat ini Uni Eropa intens meminta pasokan minyak sawit (CPO) dari Indonesia akibat adanya krisis energi dunia dan kenaikan harga minyak nabati secara global. Namun negara-negara produsen sawit menolak lantaran Uni Eropa sudah terlebih dahulu menetapkan kebijakan diskriminatif terhadap sawit, terkhusus sawit Indonesia.
“yang membenci sawit dari dulu seperti negara Eropa, sekarang sudah meminta tolong. Mereka yang menajiskan sawit itu sekarang sudah ngemis untuk dapat quota minyak sawit,” kata Sahat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IV DPR, Rabu (30/3/2022).
Berulangkali Uni Eropa menetapkan berbagai kebijakan yang mendiskriminasi sawit Indonesia, baik melalui aturan Renewable Energy Directive (RED) II serta Delegated Regulation sejak 2018. Sahat mengatakan, para pelaku usaha di bidang persawitan pun secara tegas menolak dan lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saat ini, terkhusus sebagai dampak pemanfaatan domestik yang semakin meningkat.
“Dari dulu mereka mencaci maki kita saja, dengan segala cara, sebagai bangsa kita harus punya nyali,” tegas Sahat Sinaga yang juga Pelaksana Tugas Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).
Selanjutnya, Sahat menuturkan, ke depan, pemerintah harus memiliki regulasi yang paduserasi, yang bisa membuat harga sawit di dalam negeri lebih rendah dibandingkan negara produsen sawit lainnya karena kedepannya para negara produsen sawit akan bersaing dari segi produktivitas dan efisiensi. Dengan begitu, para investor pun akan datang terkhusus disekor hilir.
Harga yang lebih bersaing, akan mengundang investor untuk hilirisasi dalam negeri dan Indonesia akan mendapat manfaat lebih seperti pajak ekspor dan bea keluar. “Jadi pajak kita dapat, serapan tenaga kerja dapat, bisnis pun kita dapat dan tentunya dengan tetap menjaga keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan aspek lingkungan,” ujarnya.
Jur: Tridara Merninda / Red: Maria Pandiangan