Pagi itu, Rabu. Jatuh pada angka 13 bulan April, sempena puasa. Ibu-ibu, emak-emak dan kaum puan “memetik matahari” pagi. Pagi nan wangi, pagi semerbak dan geriang gemilang. Ya, sebuah pagi dengan takik-takik cahaya mentari berbinar cerah. Jatuh dalam Ramadhan penuh berkah. Pagi-pagi di sebuah puncak bukit damai sekitar Rejosari nan molek.
Suher turun dari Pajero putih. Bukan untuk ceramah atau tausiyah. Dia figur yang setali dengan sawit dan kebun. Dalam sapaan hangat sembari puasa di pangkal pagi, menyapa kaum ibu yang tengah menanti. Apa yang ditunggu? Ya sebuah bazar minyak goreng curah murah. Ada 1.4 Ton minyak goreng curah berbahan baku sawit, bewarna cerah emas dalam paket bungkusan plastik per 2 liter. Harga? Wahhh amat terjangkau Rp. 20.000,-
Teramat murah, kesan ibu-ibu. Bazar ini dimotori APKASINDO DPW Riau, ASPEK PIR Riau dan GAPKI Riau. Dan KH. Suherlah sang komandan yang menerjang pagi bertolak dari kediaman di hamparan kebun sawit Tapung. Dia sosok ramah, hangat dan murah senyum. Namun juga “ringan tangan” dalam kisah berbagi. Dia langsung yang membagikan kantong-kantong plastik itu ke ibu dan kaum puan yang sudah mengelilingi tenda.
Setelah diimbuhi jeda pembukaan dari Ketua RW (Purba Harahap) dan Ketua APKASINDO Riau, sesaat kemudian melintas mobil Harrier hitam. Ya, menyembul ujung kaki sang bos besar APKASINDO Indonesia, Dr. Ir. Gulat Manurung, MP., C.APO, C.IMA Ini sosok yang berpenampilan manis dan mudah menyapa dalam canda-candaan khas. Lalu, Gulat menyampaikan semacam “tausiyah” bazar yang diikat kaidah Protokol Kesehatan era Covid-19. Bertambah seru, karena pelaksanaan bazar kali ini amat indah dan tertib berbanding dengan bazar yang diselenggarakan di wilayah lain kota Pekanbaru, kesan Gulat.
Kenapa tertib? Ya, Ketua RT dan isterinya yang malah menunggu meja bazar. Anak-anak muda APKASINDO dan Mahasiswa Sawit santai-santai aja melihat pelayanan prima dari Ketua RT dan istri kepada warga yang berdatangan pagi-pagi. Kenapa ini terjadi? Menurut hemat seorang Ketua RT “bahwa yang kenal dengan warganya adalah kami. Biar lebih aman dalam penukaran kupon yang sudah diedarkan sebelumnya, maka kami langsung yang turun membagi dan menerima kupon itu kembali”.
Tentang lokasi? Amat resik dan cantik. Sebuah hamparan rumput luas di atas sebuah puncak bukit yang dikelilingi perumahan kelas menengah-atas gaya urban. Bertaman dan area parkir yang asri. Tak terjadi kerumunan yang menakutkan selama era pandemik ini. Semua tumpukan manusia yang hadir, mudah terurai. Dan dalam rengkuhan skala manusia. Cukup berjalan kaki dan berdiri seraya masih ramah untuk jarak sapa antar pengunjung.
Keseruan lain? Puncak bukit nan asri ini, kesan Gulat mampu mempersatukan Indonesia, beragam suku hadir dalam keriangan masing-masing; Melayu, Batak, Jawa, Minang, Nias, Bugis. Tampil dengan sejumlah “penanda budaya” (cultural marker) dan entitas keyakinan (agama) yang berbeda. Namun mereka adalah warga yang “satu rumah nan hangat”. Tak ada konflik. Tanpa pertikaian. Tak ada gertak-menggertak yang memenuhi ruang-ruang sosial di kampung ini. Semua tampil dalam wajah damai dan gemerincing jiwa nan penuh cinta-kasih.
Kejutan lain? Waah serru…: “Profesor Yusmar itu rupanya punya anak angkat seorang Kristen. Bos besar APKASINDO lagi”, ujar seorang ibu kepada kerumunan tertib di puncak bukit Green Hill itu. “Begitu indah Indonesia. Kita bisa hidup dalam kaidah bersama, berjiran dalam rempak keberagaman tak terpemanai”. Inilah ko-eksistensi kehidupan dalam corak Indonesia.
Maka jangan heran, jika Anda melihat sosok perempuan mengena hijab (cadar) penutup wajah, sembari mengenderai motor menyusuri kampung-kampung perkotaan menjual sayur-mayur. Hijab (yang dibawa dari jazirah Arab); disarung ke tubuh perempuan tropis, lalu mengenderai motor buatan Jepang, dan berjualan sayur juga lauk-pauk (ala Indonesia). Di sini, agama bukan lagi apa yang dikatakan para ulama (orang suci/ cleric), tapi adalah apa yanag dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi tuntutan hidup keseharian (day to day activities).
Kualitas minyak? Kita minta kesaksian dari kaum puan tentunya lebih fair. Kualitas terbaik yang pernah mereka dapatkan selama ini. Warna cerah emas. Dengan harga super murah dan terjangkau. Tapi? Terkesan eksklusif khas untuk warga RW (Rukun Warga) Rejosari saja. Warga RW tetangga, sempat mendatangi Ketua RW Purba Harahap: “Apakah kami boleh membeli unit kantong berisi minyak goreng dalam bazar ini”?… Adduh kita harus menerima andaian tentang persediaan dan permintaan…
Seraya menanam jangkar arif dan bijak, walau mengurut dada…
Pagi nan wangi, harum semerbak, berbingkai refkleksi cahaya emas minyak sawit…