sawitsetara.co – JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia (RI) menyoroti rencana pemerintah terkait dengan wacana kebijakan wajib plasma 30% untuk perusahaan yang mengajukan pembaruan dari (Hak Guna Usaha) selama 35 tahun. Aturan tersebut dinilai berpotensi maladministrasi.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika, mengungkapkan seharusnya pemerintah menuangkan kebijakan tersebut melalui aturan tertulis agar bisa dipertanggung jawabkan oleh berbagai pihak.
“Harus patuh sama aturan. Aturannya 20 persen ya 20 persen dong atau ubah dulu aturannya. Undang-undangnya diubah, misalnya undang-undangnya maunya 30 persen 40 persen, monggo. Kalau undang-undangnya mengatakan 20 persen ya harus 20 persen,’’ ungkap Yeka.
Sebagai dasar, ada sejumlah regulasi yang mengatur kewajiban plasma 20 persen bagi pemegang HGU dalam industri sawit. Salah satunya adalah UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam pasal Pasal 58 UU Cipta Kerja disebutkan bahwa “Perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan Berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari: (a) area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha; dan/atau (b). areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 2o% (dua puluh persen) dari luas lahan tersebut.’’
Adapun, regulasi lainnya terkait hal tersebut juga tertera pada Permentan No. 26 Tahun 2007, Pasal 11 Ayat 1; Permentan No. 98 Tahun 2013, Pasal 15 Ayat 1; dan Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 58.
Menurut Yeka, boleh saja pemerintah akan menerapkan rencana tersebut untuk kepentingan petani namun tetap harus mengacu pada aturan yang ada. Kalau rencana tersebut tetap dilaksanakan, jelas melanggar aturan yang ada. “Maladministrasi itu berarti,’’ tambah Yeka.
Yeka menungkapkan bahwa hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, sebelum diimplementasikan, kebijakan 30 persen plasma tersebut sebaiknya dibicarakan dulu secara cermat.
Yeka meminta agar pemerintah lebih memfokuskan pada upaya audit untuk menegakkan aturan plasma 20 persen tersebut. Karena dia menengarai implementasi kewajiban plasma 20 persen bagi pemilik HGU belum terealisasi secara baik.
“Yang (kewajiban plasma) 20 persen sudah dievaluasi belum? Jangan-jangan yang 20 persen belum dievaluasi. Kalau 30 persen (diterapkan) nanti timbul masalah. Niatnya baik untuk masyarakat nanti akhirnya malah fire back,’’ papar Yeka.
Lebih jauh, Yeka mengungkapkan ketidakpastian hukum akan memiliki konsekuensi. Salah satunya akan berdampak pada iklim investasi.
“Ada Ketidakpastian (hukum). Ini kan akhirnya menjadi beban bagi para pelaku usaha. Katanya kita mau tumbuh 8 persen. Pelaku usahanya digenjot kayak gini stress juga,’’ jelas Yeka.
Karena itu, dia meminta agar pemerintah mengubah aturannya dulu sebelum menerapkan program 30 persen plasma tersebut.
“Bolehlah kalau maunya seperti itu berarti undang-undangnya diubah dulu,’’ tegas Yeka.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI pada 30 Januari 2025 lalu, Menteri ART/BPN Nusron Wahid menyampaikan sejumlah rencana kebijakannya untuk mengatur dan menata industri sawit.
Dalam penjelasannya, Nusron menjelaskan pihaknya telah berkomunikasi dengan Kementerian Pertanian untuk melakukan penataan pemberian hak baik itu pemberian hak pertama kali, perpanjangan, dan pembaruan HGU untuk mengedepankan prinsip keadilan.
Menteri Nusron menyebut alokasi 20 persen lahan plasma kini hanya berlaku untuk pemberian HGU tahap pertama selama 35 tahun, dan perpanjangan HGU tahap kedua untuk 25 tahun selanjutnya. Bagi pemegang izin yang mengajukan pembaruan HGU, kewajiban plasma ditambah menjadi 30 persen.
“Selain plasmanya 20 persen, kami minta tambah karena sudah menikmati selama 60 tahun (HGU pertama dan kedua), lalu diajukan pembaruan (HGU ketiga) 35 tahun. Maka total 95 tahun, akan ditambah 10 persen menjadi 30 persen dari sebelumnya kewajiban (plasma) 20 persen,” paparnya.
Menurut Yusron, kebijakan tersebut dilakukan agar petani lebih menikmati hasil dari industri sawit. Saat ini ada 16 juta hektar HGU yang dipegang oleh sekelompok pengusaha kelapa sawit yang memegang Izin Usaha Perkebunan (IUP) 2.869. (sumber: wartaekonomi.co.id)