sawitsetara.co – PEKANBARU – Kelapa sawit yang sering dianggap sebagai tanaman yang tidak bersahabat dengan lingkungan akan tetapi memiliki nilai ekonomi dan nilai jasa lingkungan yang tinggi.
Hal ini dijelaskan oleh Dr. Riyadi Mustofa, S.E., M.Si., C.EIA., yang merupakan Bidang Litbang (Penelitian dan Pengembanga) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) kepada sawitsetara.
Sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Persada Bunda jurusan Manajemen, Riyadi menjelaskan bahwa kelapa sawit adalah tanaman yang memberikan daya dukung lingkungan pada daya dukung pengaturan air melalui trio tata air sebagai salah satu indikator pengelolaan water management untuk pembangunan ekonomi.
Secara data, fungsi tata air perkebunan kelapa sawit mampu menahan cadangan air pada lapisan atas tanah, melindungi tanah dari pukulan langsung air hujan dan memelihara kelembaban udara (iklim mikro) mendekati fungsi hutan tropis sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.
INDIKATOR | HUTAN TROPIS | PERKEBUNAN KELAPA SAWIT |
Evapotransipasi (mm/tahun) | 1560-1620 | 1610-1750 |
Cadangan air tanah s.d. kedalaman 200 cm | 59-727 | 75-739 |
Penerusan curah hujan ke permukaan tanah (%) | 85 | 87 |
Laju infiltrasi lapisan solum 0-40 cm (ml/cm3/menit) | 30-90 | 10-30 |
Kelembaban udara (%) | 90-93 | 85-90 |
Sumber: Henson (1999), PPKS (2004,2005)
Dengan konsep dan data di atas, maka kelapa sawit jatuh dalam kategori tanaman yang dapat mempertahankan daya dukung air suatu area.
Di satu sisi, Riyadi Mustofa menjelaskan bahwa daya dukung air sendiri dapat dijadikan sebagai instrumen mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat pada suatu wilayah, terutama di negara berkembang. Amanat peraturan menegaskan bahwa setiap kebijakan pembangunan harus melihat tingkat ketersediaan air di suatu wilayah.
Lebih lanjut Riyadi mencontohkan dengan studi di Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, provinsi Riau, dalam hal ini adalah Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Tapung Kiri sebagai salah satu wilayah yang dianggap memiliki keunikan karena diapit oleh sungai Kampar dan Tapung kiri.
Dengan luas area sebesar 211.846 Ha, wilayah Sub DAS Tapung Kiri didominasi oleh perkebunan yang didominasi oleh sawit, disusul pertanian, karet, lahan terbuka, hutan, dan lahan terbangun (Husnah, dll., 2009). Karenanya, Sub DAS ini dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk konsumsi maupun kebutuhan pertanian.
Walaupun ditutupi oleh kebun sawit, tercatat Sub DAS Tapung Kiri berkapasitas sebesar 8.097.181.430.734 m3/tahun dan sampai hari ini masih berlebih dalam hal mencukupi konsumsi masyarakat dan perkebunan di daerah tersebut.
Diketahui secara hitungan untuk kebutuhan air yang dihitung sebagai jumlah evaporasi dan transpirasi, kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit sebesar 75m3/GJ yang mana jauh lebih rendah jika dibanding tanaman kebun lain seperti kelapa sebesar 126 m3/GJ dan ubi kayu sebesar 118 m3/GJ.
“Dari angka di atas, terlihat bahwa kelapa sawit memang menyerap daya dukung air di area sekitar penanamannya. Dengan menjaga daya dukung air, maka tanaman sawit juga memberikan nilai ekonomis kepada masyarakat sekitar dengan memberikan pasokan air bersih untuk dikonsumsi,” terang Riyadi.
Riyadi menjelaskan bahwa ini secara otomatis memberikan penghematan bagi masyarakat karena tidak perlu membeli air. Jika asumsi yang dibangun terhadap kebutuhan rata-rata per orang adalah 25 m3/hari dengan harga Rp500/m3, maka terjadi penghematan sebesar Rp12.500/hari.
Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa kelapa sawit memang mendukung daya dukung air dalam hal ini sejalan dengan prinsip berkelanjutan.
Jur: Goldameir/Red: Maria Pandiangan