sawitsetara.co – JAKARTA – Belum lama ini pada rapat RPJMN 2025-2029 Presiden RI Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa pihaknya akan mendorong komoditas sawit, diantaranya pebukaan lahan baru. Namun, beberapa hari setelah Presiden Prabowo berpidato, beberapa NGO (Non-Government Organization) atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) menanggapinya dengan negatif.
Menangapi hal negatif dari beberapa kalangan NGO atau LSM, Akhmad Indradi, petani sawit milenial asal Kalimantan Timur menyampaikan sikap nasionalisnya dan berpendapat, Pertama, pernyataan Presiden Prabowo itu merupakan pernyataan kepala negara yang yang secara wajar memberikan dukungan kepada sektor dan industri strategis yang terbukti sangat kompetitif secara internasional dan menjadi andalan Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat serta memberi kontribusi besar pada ekonomi Indonesia.
“Jadi sangat wajar dan tepat Presiden mengatakan bahwa sawit adalah asset Indonesian dan memerintahkan TNI POLRI, Gunernur, Bupati dan Walikota untuk menjaganya. Seandainya pemimpin Amerika dan Eropa berpidato untuk mendukung industri minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan lain-lain yang mereka produksi, itu juga hal yang wajar. Masing-masing negara punya sektor/komoditi strategis unggulan yg pasti didukung habis-habisan oleh pemerintahnya,” ungkap Akhmad.
Kedua, lanjut Akhmad, pidato Presiden Prabowo belum menjelaskan tentang strategi perluasan lahan sawit yang akan dilakukan.
“Tentu kita yakin bahwa bukan dengan membabat hutan alam. Namun dengan reforestasi areal berstatus kawasan hutan yang tidak lagi berhutan atau kawasan hutan terdegredasi dengan tanaman kelapa sawit. Apakah optimalisasi kawasan hutan yang sudah tidak berhutan masuk kategori deforestasi atau tidak? Tanya Akhmad.
Menurut Akhmad,yang jelas pidato itu belum lengkap karena memang bukan forum khusus terkait kelapa sawit. Tetapi belum tuntasnya pidato Prabowo ini menjadi ocehan tak berdasar ilmiah para aktivis lingkungan untuk semakin memframing negatif sawit Indonesia dengan data-data animasi versi NGO/LSM.
Ketiga, Akhmad menjelaskan, aktivis lingkungan telah berbuat tidak fair terhadap industri sawit di tanah air ini, apalagi dengan membandingkan kebun sawit dengan hutan alam yang tentu saja sangat berbeda keragamannya. Tentu saja tidak apple to apple.
“Semestinya mereka melihat dengan bijak bahwa pengembangan sektor/ komoditi unggulan apapun oleh setiap negara di dunia ini pasti akan memerlukan sumber daya, antara lain lahan, yang menyebabkan perubahan kondisi lingkungan awal. Bukan hanya pertanian/perkebunan saja, tapi juga peternakan, perikanan, manufaktur, industri, pemukiman, dan lain-lain,” tegas Akhmad kembali.
Terkait dengan komoditas minyak nabati, Akhmad menjelaskan, tentu saja setiap negara punya preferensi komoditi masing-masing dan punya argumen untuk mengatakan bahwa komoditinya paling ramah terhadap lingkungan.
Setiap negara akan memanfaatkan sumberdaya lahan, melakukan perubahan kondisi lingkungan, merubah fungsi-fungsi lahan untuk kesejahteraan negaranya, apalagi bila merujuk ke UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3). Bukan hanya Indonesia, Amerika pun juga membuka lahan untuk kedelai, New Zealand dan Australia menggunakan lahan untuk peternakan dan pertanian, demikian pula negara-negara Eropa, China, dan lain-lain dengan menggunakan lahan mereka untuk mengembangkan sektor-sektor/komoditas andalannya.
“Jika ingin lebih fair, kenapa NGO/LSM tersebut tidak membandingkan berapa karbon yang diserap oleh sawit dibandingkan kedelai, bunga matahari, an lain-lain. Alih-alih membandingkan lahan pertanian dan perkebunan dengan hutan alam,” jelas Akhmad.
Keempat, Akhmad juga menyoroti, alangkah tidak fairnya para aktivis lingkungan, yang sebenarnya mereka juga pengkonsumsi minyak sawit dengan berbagai produk turunan. Kenapa tidak menyoroti berapa luas bukaan lahan kedelai Amerika dibandingkan luasan hutan alam Amerika?
“Berapa luas hutan alam yang semestinya disediakan oleh setiap negara untuk menjaga kelestarian bumi secara bersama-sama? Apakah tugas menjaga kelestarian bumi ini hanya akan dibebankan negara-negara tertentu saja, seperti Indonesia?, sementara negara-negara maju sudah beralih fungsi hutannya ? Tentu saja tidak fair,” tegas Akhmad.
Kelima, Akhmad berharap kepada Presiden Prabowo agar pembukaan lahan sawit baru nanti diperuntukkan sebesar-besarnya untuk perkebunan rakyat, bukan untuk izin HGU yang baru. “Kami mendukung implementasi ASTA CITA Presiden Prabowo untuk Indonesia Emas 2045 dan Kami Petani Sawit Indonesia ada disana,” pungkas Akhmad.