sawitsetara.co – JOHOR BAHRU – Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) berhasil menggelar International Smallholders Workshop 2025 di Johor Bahru.
Dalam acara tersebut, Ketua Dept Hubungan International DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKSINDO), Djono A. Burhan, S.Kom., MMgt (Int.Bus), CC.,CL menyampaikan tujuan dari workshop ini adalah untuk berdiskusi dan sharing informasi lintas negara karena kegiatan ini dihadiri langsung oleh perwakilan petani dari Indonesia, Malaysia, Honduras, Nigeria, Ghana, Myanmar, Thailand, dan lain sebagainya.
“Jadi kita share bagaimana kondisi eksisting kelapa sawit terkini di negara mereka, dan juga bagaimana cara untuk mentekel (membahas-red) permasalahan terkhusus dalam hal produktivitas dan permajaan sawit yang sawit sudah semakin menua,” ujar Djono, kepada sawitsetara.co.
Lebih lanjut, Djono menyebutkan ada beberapa narasumber dari lintas negara dan beberapa narasumber lainnya yang menarik seperti dari Sarawak Dayak Oill Palm Planters Association (DOPPA).
Dalam acara tersebut Djono menanyakan bagaimana implementasi dari program tanam semula kelapa sawit seperti dalam program TSPKS (Tanam Semula Pekebun Kecil Sawit), yang merupakan program pemerintah Malaysia untuk membantu pekebun kecil sawit menanam kembali pohon sawit yang tua atau tidak produktif. Kalau di Indonesia biasa disebut program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat).
Lalu, Presiden DOPPA, Napolean Royal Ningkos menjawab bahwa implementasinya juga masih belum terlaksana dengan baik. Hal ini karena permasalahan terkait dengan syarat-syarat untuk pengajuan TSPKS itu sendiri. Meskipun ada dukunggan berupa 50% dana hibah. Namun 50% seisanya dalam benttuk pinjaman itu juga masih sangat sulit untuk dilakukan oleh petani swadaya.
Adapun salah satu kendala utamanya adalah land legality (legalitas lahan). Jadi yang punya lahan itu siapa tapi atas namanya siapa (pemilik lahan dengan atas nama-red). Berarti kalau permasalahnnya seperti itu ini mirip dengan kondisi permasalahan di Indonesia Indonesia.
Padahal menurut Djono bahwa peremajaan menjadi solusi untuk peningkatan produktivitas untuk memenuhi pertumbuhan permintaan sawit di masa depan. Artinya peremajaan sawit rakyat menjadi tolok ukur program strategis untuk meningkatkan produktivitas sawit di masa depan.
Lalu di sesi kedua, Djono bertanya kepada narasumber dari Honduras dan Papua Nugini (Papua New Guinea) yakni bagaimana dampak dari perdagangan internasional atau goncangan regulasi internasional seperti tarif Trump itu? Apakah terpengaruh apakah mempengaruhi harga sawit di dalam negara mereka masing-masing atau tidak terpengaruh?
Narasumber dari Honduras menjawab perang tarif cukup mempengaruhi harga sawit. Hal ini produksi sawit di Honduras sebagian besar di ekspor. Honduras lebih mengutamakan pendapataanya dari transaksi keluar negeri dalam bentuk US dolar . Hal itu jugalah yang dialami oleh Papua Nugini yang masih mengandalkan ekspor sebagai pendapatan dari sawit.
“Jadi kita bersyukur bahwa kita (Indonesia) sebaga produsen terbesar minyak sawit tidak berpengaruh terhadap kebijakan internasional. Hal ini karena kita mengkonsumsi sawit untuk dalam negeri cukup besar,” pungkasnya.