sawitsetara.co – JAKARTA – Lahirnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 cukup membuat kontroversi bagi pelaku industri sawit. Hal tersebut mengemuka dalam Focus Grup Discusion (FGD) dengan tema Kajian Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan: Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Universitas Pancasila, Jakarta.
Ketua Aspekpir Indonesia, Setiyono mengingatkan bahwa kebun sawit rakyat bukanlah sekadar lahan, tapi hasil dari sejarah panjang dan perjuangan kolektif sejak 1979.
“Waktu itu kami jalan kaki puluhan kilometer buka kebun, ikut program PIR-Trans. Petani plasma itu bagian dari keberhasilan pemerintah,” ujar Setiyono mengenang masa awal.
Kini, lanjut Setiyono setelah puluhan tahun membangun dengan keringat sendiri, tiba-tiba lahan mereka dipatok sebagai kawasan hutan.
Menurut Setiyono, banyak petani swadaya membuka lahan dengan kemampuan terbatas, terkadang dengan bibit seadanya, namun tetap berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Ia menyayangkan ketika kawasan yang sudah bersertifikat dan dibina justru diklaim masuk dalam kawasan hutan, tanpa mempertimbangkan sejarah dan kontribusi sosial-ekonominya.
Setiyono juga menyinggung tekanan dari Uni Eropa terhadap sawit Indonesia yang berdampak besar pada petani. “Uni Eropa melindungi petaninya, kenapa kita tidak? Ini soal keberpihakan,” tegas Setiyono.
Target ambisius pemerintah untuk meningkatkan produksi CPO hingga 100 juta ton di tahun 2045 dinilai kontradiktif jika tidak ada penyelesaian yang jelas atas status lahan. Apalagi generasi muda kini mulai enggan meneruskan usaha perkebunan yang penuh ketidakpastian.
Setiyono menyarankan solusi ekstrem namun logis: menyatukan Kementerian Pertanian dan Kehutanan agar pengembangan pertanian dan pelestarian hutan bisa selaras. “Sekarang ini dua kementerian itu seperti tarik-menarik. Yang satu mengembangkan, yang satu melindungi. Biar nyambung, enaknya digabung saja,” risau Setiyono.
Sementara itu, Koordinator I pada Jampidsus dan anggota Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), Ardito Muwardi, menjadi salah satu sosok kunci dalam pelaksanaan kebijakan ini. Menurutnya, Perpres ini hadir untuk menertibkan kawasan hutan sekaligus memaksimalkan pemanfaatannya. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan adanya ribuan hektare kawasan yang statusnya berada dalam abu-abu hukum, hasil dari proses pelepasan kawasan yang tidak selalu sesuai prosedur.
“Melalui pasal 110A dan 110B dalam UU Cipta Kerja, kami melakukan klarifikasi kepada subjek-subjek hukum yang menguasai lahan,” ujar Ardito.
Hasil dari proses itu bisa berupa penguasaan kembali oleh negara jika ditemukan belum memenuhi aturan, tidak bisa dikuasai atau belum bisa dikuasai.
Tercatat Satgas yang dibantu oleh TNI telah melakukan verifikasi terhadap lebih dari 620 ribu hektare lahan, lantas sekitar 399 ribu ha dalam masih proses verifikasi.
Dimana sebanyak 221,8 ribu hektare telah diserahkan kepada PT Agrinas, sementara 216,9 ribu hektare lainnya akan dilakukan pennyerahan dalam tahap kedua, dengan rencana penguasaan kembali terhadap 75 ribu hektare di berbagai wilayah termasuk Aceh, Kalimantan, dan Sumatera.