sawitsetara.co, JAKARTA – Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia kembali angkat bicara terkait ruwetnya persoalan minyak goreng yang tak kunjung selesai dan telah menimbulkan keresahan yang bukan hanya di Indonesia, tapi juga seluruh dunia.
FORMASI Indonesia adalah wadah organisasi anak-anak petani sawit, anak-anak buruh tani sawit, dan anak pekerja sawit yang tersebar di 124 kampus dari Aceh sampai Papua, di bawah binaan Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP APKASINDO).
Amir Arifin Harahap, Ketua Umum DPP FORMASI Indonesia, mengatakan masalah minyak goreng sawit (MGS) tersebut telah mengakibatkan harga tandan buah segar (TBS) petani sawit tidak stabil bahkan anjlok hingga 70% di Rp1.600/kg, dan harga crude palm oil (CPO) Rp10.000/kg, di saat yang bersamaan harga TBS petani di Malaysia naik menjadi Rp5.500/kg dengan harga CPOnya mencapai Rp22.000/kg.
“Se-Indonesia tau, bahwa masalah utama MGS tersebut soal distribusi yang tak jalan dan komitmen produsen MGS yang tidak maksimal, bukan malah harga TBS kami yang ditekan habis dengan berbagai modus kebijakan Kementerian Perdagangan,” ujar Amir.
Persoalan minyak goreng sederhana sekali, namun tak kunjung selesai mengakibatkan harga TBS tidak stabil hingga anjlok tidak manusiawi sampai sekarang pasca pencabutan larangan ekspor. Larangan ekspor sudah 8 hari berlalu, namun 1 kg pun ekspor belum ada yang jalan, tender CPO di KPBN sudah 32 hari WD dan malah per hari ini (1/6) subsidi MGS Curah resmi dicabut.
“Selama 5 bulan ini Kemendag hanya uji coba dan gonta-ganti peraturan, semua berakibat fatal kepada harga TBS orang tua kami dan ujung-ujungnya kiriman belanja untuk biaya kuliah kami anak-anak petani terancam dan sudah 5 bulan ini sering terlambat dan kami sudah hutang ke kiri ke kanan,” kata Amir ketika dihubungi media.
Menurut analisa Amir, masalah minyak goreng tidak pernah selesai karena masalahnya pada Menteri Perdagangan sendiri. “Beliau tidak becus mengatasi ini. Jajaran Kemendag semua pada stres dan ketakutan karena temannya ditangkap Jaksa, jadi bagaimana mau maksimum bekerja ?” tanya Amir.
“Ditegaskannya bahwa Indonesia berpacu dengan waktu, seharusnya urusan distribusi ini segera dipindahkan ke Bulog atau BUMN lainnya dan jangan diurusin kemendag lagi. Presiden Jokowi sudah tegas mengatakan bahwa Larangan Ekspor dicabut dikarena memikirkan nasib 17 juta petani sawit dan pekerja sawit, itu artinya apa? Ya orang tua kami petani sawit lah,” ujarnya.
“Namun pasca 19 Mei sampai sekarang harga TBS orang tua kami malah makin gak jelas. Pabrik PKS makin sewenang-wenang menekan harga TBS di tengah ketidakberdayaan Kementerian Pertanian untuk menolong orang tua kami melalui Permentan 01/2018,” lanjut Amir.
Kesalahan penanganan kelangkaan MGS oleh Kemendag yang gagal total, berbuntut Presiden memberlakukan pelarangan ekspor CPO, minyak goreng, dan bahan bakunya. “Ini semua sebab-akibat. Semua sangat dirugikan, terkhusus orang tua para siswa/i petani sawit di sektor hulu sampai 15 triliun, kerugian devisa negara sekitar 30 triliun, dan kerugian BPDP-KS sekitar 10 triliun (4 bulan), semua karena gak bisa ekspor,” tandas Amir.
“Jadi menurut saya menteri perdagangan ini kebijakannya coba-coba saja semacam eksperimen. Ini sangat berbahaya merugikan semua, baik negara, korporasi, dan petani sawit yang tertimpa beban ganda,” tegas Amir.
Selanjutnya menurut Amir, yang membuat mahasiswa Formasi Indonesia geleng-geleng kepala, menteri perdagangan kembali menerapkan kebijakan DMO-DPO (Domestic Market Obligation-Domestic Price Obligation) yang sebelumnya terbukti gagal dan lebih ironisnya subsidi MGS Curah pun resmi dicabut per hari ini (1/6).
Februari lalu DMO dan DPO pernah diberlakukan, lalu beberapa hari kemudian diganti dengan kebijakan subsidi MGS Curah harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000/liter, dengan konsukuensi saat itu pungutan ekspor (PE) dinaikkan dari 175 USD menjadi 375 USD/ton CPO. “Nah, jika DMO dan DPO kembali diberlakukan seharusnya PE dikembalikan ke 175 USD,” tegas Amir.
“DMO dan DPO itu ibarat polisi tidur, memperlambat kecepatan ekspor dan menambah beban biaya produksi apalagi dengan pungutan ekspor yang tinggi 375 USD/ton CPO. Dan jelas beban biaya tersebut, ditimpakan ke sektor hulu yaitu ke harga TBS, double beban jadinya (DMO/DPO dan PE, red.),” tambahnya.
Menurut Amir mewakili anak petani sawit lainnya, justru kebijakan ini nanti akan memperpanjang masalah minyak goreng, dan anak-anak petani sawit terancam putus sekolah.
“Kami anak-anak petani sawit mengaku sudah ampun melihat menteri perdagangan yang tidak becus yang hanya mengurusi minyak goreng saja sudah kacau. Lebih baik Pak Presiden Jokowi ganti saja Menteri Perdagangan daripada masalah migor semakin kacau dan semua terlambat. Nanti yang korban pertama sekali adalah orang tua kami dan tentunya juga nasib kami anak petani sawit,” keluh Amir.
“Kami sekolah dan kuliah bergantung pada sawit Pak Presiden. Kalau harga sawit tidak stabil maka kami bisa putus sekolah, mau jadi apa masa depan kami sebagai anak petani sawit. Kami melihat pusaran masalah ini ada di Menteri Perdagangan, segera berhentikan, lebih cepat lebih baik,” mohon Amir dengan mengepalkan kedua tangan.
Jur: Tridara Merninda/Red: Maria Pandiangan