sawitsetara.co – JAKARTA – Industri sawit menjadi bagian penting untuk menggerakkan roda pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Produk turunan sawit dapat membantu mewujudkan swasembada pangan dan energi nasional sebagaimana Asta Cita Presiden Prabowo.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas RI Prof.Rachmat Pambudy menjelaskan bahwa Program program pengembangan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah produk kelapa sawit di dalam negeri serta peningkatan produktivitas kelapa sawit menjadi kunci dalam pencapaian target dimaksud.
“Industri sawit di Indonesi punya beragam keunggulan komparatif. Lahan kita cukup, air cukup, petani unggul. Dengan teknologi terbaik saja kita sudah bisa unggul di dunia,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam Diskusi Terbatas bertemakan “Integrasi Industri Sawit Indonesia dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi, Swasembada Pangan, dan Energi: “Menelisik Pemikiran Prof. Bungaran Saragih”, di Jakarta.
Prof.Rachmat Pambudy mengatakan Presiden Prabowo memberikan tugas kepada Kementerian PPN/Bappenas untuk merencanakan pembangunan secara nasional supaya pertumbuhan ekonomi dapat tinggi, berkualitas, dan berkelanjutan.
Pemerintah telah merancang strategi 8+1 untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia agar mencapai 8 persen pada 2029.
Delapan strategi tersebut adalah peningkatan produktivitas pertanian menuju swasembada pangan, industrialisasi (hilirisasi) sektor padat karya, berorientasi ekspor, dan berkelanjutan; ekonomi biru dan ekonomi hijau; pariwisata dan ekonomi kreatif; perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; transformasi digital; lalu investasi (foreign direct investment) berorientasi ekspor dan investasi non Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Merujuk data Kementerian PPN/Bappenas, upaya mencapai swasembada pangan dari industri sawit dilakukan melalui penyediaan minyak goreng bagi 280 juta jiwa penduduk Indonesia dan 1,6 juta unit UKM kuliner. Sementara itu, peranan industri sawit mewujudkan swasembada energi dengan menghasilkan energi terbarukan (renewable energy) melalui biodiesel sawit, bensin sawit, diesel sawit, avtur sawit (Sustainable Aviation Fuel-SAF), biomethane, biocoal, dan bioethanol.
Prof. Bungaran Saragih mengatakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut diperlukan Indonesia agar pada saat 100 tahun Negara Kesatuan Repubulik Indonesia tahun 2045, dapat menjadi Top-10 ekonomi dunia dengan produk domestik bruto (PDB) sekitar USD 6.988 milyar dengan pendapatan per kapita atau sekitar USD 21 ribu atau naik sekitar 4 kali lipat dari saat ini.
“Bagian penting dari Asta Cita Presiden Prabowo adalah pertumbuhan tinggi dan mewujudkan ketahanan pangan serta energi. Sawit dapat menjadi lokomotif ekonomi nasional melalui strategi pembangunan di huluisasi dan hilirisasi untuk berjalan beriringan,” tambahnya.
Dikatakan Bungaran, hilirisasi pertanian memerlukan dukungan huluisasi pertanian. Apabila dukungan sektor pertanian (termasuk industri hulu pertanian) tidak kuat dan berkelanjutan, hilirisasi pertanian akan kesulitan bahan baku, mengalami decoupling dengan ekonomi domestik dan berubah menjadi industri berbasis impor.
Sementara itu, Ketua Umum APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia),
Dr.Ir.Gulat Medali Emas Manurung,MP.,C.APO mengatakan sangat mendukung berdirinya Badan Sawit Nasional yang akan menjadi induk untuk mengurusi tata kelola sawit di Indonesia. Pasalnya, sekarang ini terlalu banya Kementerian/lembaga yang mengurusi industri sawit Indonesia.
Sehingga dengan badan khusus sawit, lanjut Gulat, bisa menghilangkan tumpang tindih regulasi yang kerap terjadi antara Kementerian dan Lembaga dan saat ini tercatat ada 37 K/L yang mengurusi sawit dan Badan ini langsung dibawah Presiden.
“Ibarat kapal besar, semua K/L lempar jangkar sehingga kapalnya gak jalan. Ini sebuah analogi birokrasi yang banyak (jangkar) akan membuat geliat sawit berpotensi tidak bisa sekencang dibanding jika ditangani oleh badan khusus. Kita harus belajar dari perjalanan sawit sejak diperkenalkan Belanda tahun 1848, atau 177 tahun lalu,” jelas Dr Gulat.
Lalu, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menuturkan bahwa lembaganya telah merilis hasil kajian sistemik tentang tata kelola industri kelapa sawit yang menemukan adanya potensi maladministrasi berupa ketidakpastian layanan, pengabaian kewajiban hukum, tidak memberikan layanan, penyimpangan hukum dan ketidakjelasan prosedur dalam tata kelola industri kelapa sawit.
Karena itulah, Ombudsman RI memberikan lima saran perbaikan kepada Pemerintahan Presiden Prabowo untuk menekankan pentingnya integrasi kebijakan lintas sektor guna mendukung pengembangan industri kelapa sawit yang berdaya saing dan berkontribusi terhadap ekonomi lanjutan.
Pertama, pemerintah perlu segera menyelesaikan tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Dalam hal lahan perkebunan sawit rakyat telah memiliki kejelasan status HAT maka lahan tersebut dilepaskan dari kawasan hutan.
Kedua, Pemerintah perlu segera melakukan perbaikan sistem perizinan dan menata administrasi tata kelola industri kelapa sawit. Dalam hal ini Pemerintah perlu mendorong peningkatan kinerja dalam pencapaian pendataan STDB bagi pekebun rakyat dan pemenuhan sertifikasi ISPO bagi seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit.
Ketiga, pemerintah perlu segera melakukan perbaikan sistem perizinan pendirian Pabrik Kelapa Sawit dan perizinan pendukung lainnya. Pemerintah perlu mengintegrasikan izin pendirian Pabrik Kelapa Sawit untuk diampu oleh Kementerian di bidang Perindustrian dengan rekomendasi teknis dari kementerian yang membidangi perkebunan.
Keempat, Pemerintah perlu segera membuat kebijakan terintegrasi tata niaga hasil produksi perkebunan kelapa sawit baik di pasar nasional maupun pasar internasional. Dalam hal ini Pemerintah perlu menjamin kepastian harga TBS di tingkat petani (plasma dan swadaya) dengan konsekuensi penerapan sanksi jika tidak dipatuhi. Selain itu Pemerintah perlu membangun sistem pungutan yang berkeadilan pada ekspor hasil produksi kelapa sawit dan turunannya.
Kelima, Ombudsman RI memberikan saran agar Pemerintah perlu segera membentuk Badan Nasional yang mengurusi tatakelola hulu-hilir industri kelapa sawit yang berada langsung di bawah Presiden RI.