sawitsetara.co – JAKARTA – UKMK berbasis kelapa sawit memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional, terutama dalam penyerapan tenaga kerja yang mencapai 16 juta, dan berkontribusi tidak kurang 3,5% kepada PDB di Indonesia. Seiring dengan gencarnya hilirisasi, diharapkan kehadiran UMKM berbasis sawit ke depannya bisa meluaskan penggunaan produk sawit dan meminimalkan ketergantungan pasar ekspor.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia “Peranan UKM Dalam Kebijakan Hilirisasi Sawit” di Auditorium Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2024).
Kegiatan yang didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ini bertujuan meningkatkan peranan UKM dalam kebijakan hilirisasi sawit agar nilai tambah produk hilir dapat menjangkau lapisan masyarakat. Dalam Temu UKMK dan diskusi, panitia juga menggelar pameran produk-produk UKM yang berbasis kelapa sawit, dan edukasi makanan sehat bersama Apical.
Adapun pembicara yang hadir kompeten di bidangnya, yaitu Asisten Deputi Pengembangan Kawasan dan Rantai Pasok Kementerian Koperasi dan UKM, Dr. Ali Alkatiri, Owner Minyak Sawit Merah Salmira, Dr. Darmono Taniwiryono, Kadiv UKMK BPDPKS, Helmi Muhansyah dan Ir. Indra Budi Susetyo, M.Sc., Periset Agroindustri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Manager CSR Apical, Sugiantoro.
Dalam sambutannya, Pemimpin Redaksi Majalah Sawit Indonesia Qayuum Amri mengatakan selama masa Pemerintahan Joko Widodo hilirisasi minyak sawit berkembang cukup pesat, dari puluhan menjadi ratusan. Selain itu, produk ekspor sawit pun 90 persen sudah produk hilir dan hanya 10 persen saja yang bentuk CPO atau sawit mentah.
“Harapan kita temen-temen UKM ini jangan ditinggalkan malah harus diajak dalam hilirsasi sawit. peranannya banyak sekali temen temen UKM, koperasi mulai dari produksinya, pemasarannya juga dan juga jangan lupa pengguna setia sawit, mulai dari minyak goreng sortening, margarinnya, bahkan limbah yang jadi lidi, tas dan helm sawit,” ujar Qayuum.
Ali Alkatiri mengatakan pemerintah harus mempososikan sawit ini dengan tepat untuk menggerakan roda ekonomi nasional. Menurut data Kemenkop, ada 66 juta UMKM dan berkontribusi terhadap PDB sebesar 61 persen.
“Tantangan global harus bisa mengelola sumber daya alam (SDA) kita terutama sawit ini, terutama untuk kesejahteraan bersama untuk mencegah ketidakadilan,” ujarnya yang hadir lewat zoom meeting.
Ali mengatakan pihaknya mendorong strategi hilirisasi yang menepatkan UMKM dan koperasi sebagai aktor utama, bukan hanya pelengkap. Misalnya pendirian minyak makan merah di Deli, Serdang Sumatera Utara dan 10 pabrik lainnya di sejumlah wilayah. Kemudian ada program Rumah Produksi Bersama dan juga pendampingan dalam memperoleh sertifikasi mutu produk untuk masuk pasar yang lebih luas.
“Jadi koperasi dan UMKM harus melakukan hilirisasi, jadi tidak hanya memanggul TBS saja,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Peneliti BRIN Indra Budi Susetyo juga memaparkan bahwa petani memiliki daya tawar yang lemah dalam rantai pasok. Sebab, pekebun harus menjual tandan buah sawit (TBS) yang cepat membusuk. Dampaknya, harga TBS gampang jatuh, ditambah permintaan sawit yang fluktuatif di pasar internasional.
“Ke depan, sawit harus digunakan untuk sektor lebih luas. Sekarang 50 juta ton produksi sawit. dan sawit ini supply demandnya tidak tetap. Nah makanya perlu hilirisasi misalnya, kita temukan untuk batik atau coating buah,” ujar innovator malam batik dan coating bauh dari sawit itu.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengembangan SDM Perkoperasian, Kementerian Koperasi dan UKM RI, Wisnu Gunadi mengatakan kelemahan umum UKM adalah pada permodalan dan jaringan bisnis. Sehingga tidak memiliki daya tawar yang kuat. Dia pun mendorong agar UKM sawit khususnya membentuk koperasi.
“Tentunya kelemahan-kelemahan ini akan memiliki daya tawar yang kuat kalau dikonsolidasikam oleh koperasi,” ujar Wisnu.
Dia mencontohkan Koperasi Benteng Mikro Indonesia yang menggurita karena tidak lepas dari peran aktif UMKM yang merupakan anggota koperasi tersebut.
“Saya harapkan bisa koperasi seperti ini bisa direpresentasikan di bisnis kelapa sawit,” ucapnya.
Manager CSR Apical Sugiantoro mengungkapkan pihaknya memiliki cakupan CSR dari hulu sampai hilir. Secara umum terbagi dua, di area supply chain seperti di Aceh dan di Kalimantan Timur. Dia mengatakan Apical mendampingi para petani mandiri yang targetnya siap melakukan sertifikasi baik ISPO maupun RSPO. Saat ini, bersama Asian Agri, menurutnya sedang mempersiapkan 5.000 petani untuk disertifikasi.
“Petani sawit ini sering dikampanyekan hitam sebagai perambah hutan. Jika mereka memiliki sertfikat sustainable paling tidak mengurangi serangan-serangan yang tidak benar itu,” ujarnya dalam acara itu.
Selain sawit, Sugiantoro juga mengungkapkan Apical mendampingi industri mikro yang sesusia karakteristik daerah masing-masing agar naik kelas. “Kita dampingin agar mereka mampu membuat binis plan yang bagus. Misalnya mau ekspansi seperti apa agar memiliki visi bisnis secara terstruktur sistematis dan measurable,” ujarnya.
Dalam acara itu juga, Inovator Virgin Palm Oil Salmira Darmono Taniwiryono membeberkan varian pengolahan minyak sawit yang bisa menjadi salah satu opsi bagi pelaku UMKM sawit.
Darmono mengungkapkan bahwa minyak sawit harus diolah dengan benar agar sumber nutrisinya tidak hilang. Salah satu inovasinya yakni minyak sawit merah yang belum banyak diketahui masyarakat Indonesia.
Menurutnya sebagian besar masyarakat mengira minyak goreng sawit berasal dari buah sawit bagian dalam (kernel). Ini yang mesti diketahui masyarakat bahwa minyak goreng sawit berasal dari buah sawit yang bagian luar.
“Virgin Palm Oil (VPO) atau minyak sawit merah dikonsumsi oleh masyarakat (bangsa-bangsa) di Afrika Barat sejak 5.000 tahun lalu. Dan, terbukti masyarakat di Afrika Barat sehat, tidak menggunakan kacamata, kuat, tangguh sehingga lumrah banyak yang menjadi atlit sepak bola dan pelari (maraton),” ungkapnya.