sawitsetara.co – JAKARTA – Penjarahan di kebun-kebun sawit masih terus terjadi, termasuk di Kalimantan Tengah (Kalteng). Menyikapi hal tersebut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono pun mengungkapkan penyebabnya.
Menurut Eddy, kasus penjarahan itu terjadi lantaran adanya kebijakan yang masih tumpang tindih. Misalnya, kebijakan terkait Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) yang melibatkan beberapa kementerian, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pertanian (Kementan), dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Penjarahan di Kalteng luar biasa, satu hari itu bisa puluhan ton yang keluar dari kebun, dan mereka terang-terangan menjarah dan APH (aparat penegak hukum) tidak bisa berbuat apa-apa. Ini karena masalah kebijakan yang tumpang tindih. Contoh, ini masalah FKPM 20%, FKPM 20% ini dari Kementerian ATR/BPN ada permennya sendiri, Permentan ada sendiri, dari KLHK ada juga. Akhirnya mana yang kita pegang,” ungkap Eddy.
Kemudian, lanjut Eddy, adanya aturan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138 tahun 2015 yang mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan).
Sehingga dengan adanya peraturan tersebut membuat petani sawit proses perizinan untuk perkebunan sawit atau pengolahan crude palm oil (CPO) dapat dilakukan jika telah memiliki hak atas tanah (HGU) atau Izin Usaha Perkebunan (IUP). Namun, sekarang harus mendapatkan izin HGU-nya terlebih dahulu.
“Di situ yang awalnya bisa operasional dan/atau HGU, sekarang tidak bisa, harus HGU nya keluar dulu baru bisa melakukan operasional,” jelas Eddy.
Eddy pun menjelaskan penjarahan yang terjadi di Kalimantan Tengah bukannya petani sawit tidak mengurus HGU. Hanya saja, hal itu terjadi lantaran adanya izin yang diterbitkan berupa Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan lainnya (KPPL) pada 2005 lalu.
“Artinya di situ adalah memang untuk kawasan budidaya. Tapi itu ada surat dari Dirjen Planologi yang ditarik Kaban waktu itu, dan berlaku surat itu. Akhirnya terjadi kekacauan, kementerian ATR tidak bisa mengeluarkan HGU itu karena dianggap masuk ke kawasan hutan. Nah inilah yang terjadi kekacauan-kekacauan seperti ini, mengakibatkan APH sendiri dengan putusan MK 138/2015 itu tidak berani berbuat sesuatu, malah justru itu dianggapnya kebun ilegal. Padahal itu sudah dari zaman sebelum 2005 dibangun,” terang Eddy.
Eddy pun menyebut petani saat ini membutuhkan kepastian untuk berusaha dengan menciptakan kebijakan-kebijakan yang kondusif dan tidak saling tumpah tindih.
Sumber:finance.detik.com